MODEL, PENDEKATAN, DAN ORIENTASI
PENGEMBANGAN KURIKULUM, SERTA KOMPONEN-KOMPONEN KURIKULUM
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok
Mata Kuliah Telaah Kurikulum dan Perencanaa
Pembelajaran Manajemen Perkantoran
Oleh
Kelompok 2
Febia Putri Kurniawan
|
1401881
|
Gina Mirta Wahyuni
|
1407224
|
Jajang Ikbal Herlianto
|
1404720
|
Wesih Malia
|
1404674
|
JURUSAN PENDIDIKAN MANAJEMEN PERKANTORAN
FAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan
kehadirat Tugan Yang Maha Kuasa, atas limpahan anugerah-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Menganalisis Model, Pendekatan dan Orientasi Pengembangan Kurikulum serta
Komponen-Komponen Kurikulum.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun demi kesempurnaan di masaakan datang.
Akhir kata,
semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan penulis selaku penyusun dan
bagi pembaca penulis minta maaf jika terjadi kesalahan. Akhir kata penulis
ucapkan terima kasih.
Bandung, 11 September 2016
Penulis,
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Interaksi
antara guru dan siswa dalam upaya membantu siswa menguasai tujuan-tujuan pendidikan
merupakan inti dari pendidikan itu sendiri.Interaksi pendidikan berlangsung
dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.Dalam lingkungan
keluarga, interaksi pendidikan terjadi antara antara orang tua dan
anak.Interaksi dalam lingkungan keluarga ini berjalan tanpa rencana tertulis.
Orang tua sering tidak mempunyai rencana yang jelas dan rinci ke mana anaknya
akandiarahkan.
Interaksi
dalam lingkungan sekolah lebih bersifat formal. Guru sebagaipendidik di sekolah
merupakan tenaga ahli yang telah dihasilkan oleh lembaga pendidikan guru.
Sehingga, guru memiliki ilmu, keterampilan, maupun berbagai kompetensi untuk
mendidik siswa. Guru melaksanakantugasnya sebagai pendidik dengan rencana yang
dan persiapan yang matang. Para guru mengajar denga tujuan yang jelas,
bahan-bahan yang telah disusun secara sistematis dan rinci, dengan metode
maupun media yang telah dipilih dan dirancang secara cermat.
Interaksi dalam lingkungan masyarakat terjadi dalam
berbagai bentuk interaksi pendidikan, dari yang sangat formal yang mirip dengan
pendidikan di sekolah dalam bentuk bimbingan belajar maupun kursus-kursus
sampai dengan yang kurang formal seperti ceramah, sarasehan, dan pergaulan
kerja.Gurunya juga bervariasi dari yang memiliki latar belakang pendidikan
khusus sebagai guru, sampai dengan yang melaksanakan tugas sebagai pendidik karena
pengalaman.Kurikulumnya pun bervariasi, dari yang memiliki kurikulum formal dan
tertulis sampai dengan rencana pembelajaran yang hanya ada pada pikiran
penceramah.Moderator sarasehan atau gagasan keteladana yang ada pada pemimpin
(Sukmadinata, 1997).
Dari
uraian tersabut maka dapat diambil kesimpulan bahwa rancangan pendidikan atau
kurikulum yang tersusun secara sistematis, jelas, dan rinci dimiliki oleh
pendidikan formal atau sekolah.Kurikulum ini dilaksanakan secara formal,
terencana, ada yang mengawasi dan menilai.Para pelaksana kurikulum pun
merupakan tenaga profesional yang memiliki kompetensi di bidang pendidikan.
Kurikulum
mempunyai kedudukan yang sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum
mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan
pendidikan.Menurut Mauritz Johnson (1977) kurikulum “prescribes (or at least
anticipates) the result of instruction”, kurikulum menentukan atau
setidaknya mempengaruhi hasil pengajaran. Kurikulum juga merupakan suatu
rencana pendidikan, memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup, dan
urutan isi, serta proses pendidikan. Selain itu, kurikulum juga merupakan
suatu bidang studi yang ditekuni oleh para ahli atau spesialis kurikulum, yang
menjadi sumber konsep-konsep atau memberikan landasan-landasan teoritis bagi
pengembangan kurikulum sebagai institusi pendidikan (Johnson, 1977, p. 130).
Kelas
merupakan tempat untuk melaksanakan dan menguji kurikulum. Di dalam kelas
inilah konsep, prinsip, pengetahuan, metode dan kemampuan guru diuji dalam
bentuk perbuatan, yang akan mewujudkan bentuk kurikulum yang nyata dan hidup.
Guru sebagai pemegang kunci pelaksanaan dan keberhasilan kurikulum harus mampu
merencanakan, melaksanakan, menilai dan mengembangkan kurikulum. Dalam
mengembangkan suatu kurikulum banyak pihak yang turut berpartisipasi.Banyak
model pengembangan kurikulum yang dapat digunakan.Dalam memilih suatu model
bukan saja didasarkan pada kelebihan atau kebaikan-kebaikannya serta
kemungkinan pencapaian hasil yang optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan
sistem pendidikan yang dianut.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan dari
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut
1.
Bagaimana model-model dalam pengembangan kurikulum?
2.
Bagaimana pendekatan yang digunakan dalam pengembangan kurikulum?
3.
Bagaimana proses orientasi dalam pengembangan kurikulum?
4.
Apa saja komponen-komponen kurikulum?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui model-model dalam pengembangan kurikulum.
2.
Untuk mengetahui pendekatan yang digunakan dalam pengembangan kurikulum.
3.
Untuk mengetahui proses orientasi dalam pengembangan kurikulum.
4.
Untuk mengetahui komponen-komponen kurikulum.
1.4 Manfaat Penulisa
Manfaat
dari penulisan makalah ini adalah untuk dapat menambah wawasan dan pengetahuan
tentang
model, pendekatan dan orientasi pengembangan kurikulum serta komponen-komponen
apa saja yang terdapat dalam sebuah kurikulum.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Model Pengembangan Kurikulum
Menurut Good (1972) dan
Travers (1973) model adalah abstraksi dunia nyata atau representasi peristiwa
kompleks atau sistem, dalam bentuk naratif, matematis, grafis, serta
lambang-lambang lainnya(Travers, 1990).
Model bukanlah realitas, akan tetapi merupakan representasi realitas yang
dikembangkan dari keadaan. Dengan demikian, model pada dasarnya berkaitan
dengan rancangan yang dapat digunakan untuk menerjemahkan sesuatu sarana untuk
mempermudah berkomunikasi, atau sebagai petunjuk yang bersifat perspektif untuk
mengambil keputusan, atau sebagai petunjuk perencanaan untuk kegiatan
pengelolaan.
Model
atau konstruksi merupakan ulasan teoritis tentang suatu konsepsi dasar (Abidin, 2012, p.
137)Dalam
pengembangan kurikulum, model dapat merupakan ulasan teoritis tentang suatu
proses kurikulum secara menyeluruh atau dapat pula merupakan ulasan tentang
salah satu bagian kurikulum. Sedangkan menurut (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
model adalah pola, contoh, acuan, ragam dari sesuatu yang akan dihasilkan.
Dikaitkan dengan model pengembangan kurikulum berarti merupakan suatu pola,
contoh dari suatu bentuk kurikulum yang akan menjadi acuan pelaksanaan
pendidikan/pembelajaran.
Sedangkan pengembangan kurikulum (curriculum development) merupakan suatu istilah yang komprehensif
di dalamnya mencakup perencanaan, penerapan, dan penilaian.Karena pengembangan
kurikulum memiliki implikasi terhadap adanya perubahan dan perbaikan maka
istilah pengembangan kurikulum terkadang juga disamakan dengan istilah
perbaikan kurikulum (curriculum
improvement). Meskipun pada banyak kasus sebenarnya perbaikan itu merupakan
akibat dari adanya pengembangan (Oliva, 1992, p. 26)
Model
pengembangan kurikulum adalah model yang digunakan untuk mengembangkan suatu
kurikulum, dimana pengembangan kurikulum dibutuhkan untuk memperbaiki atau
menyempurnakan kurikulum yang dibuat untuk dikembangkan sendiri baik dari
pemerintah pusat, pemerintah daerah atau sekolah.
Nadler
(1988) menjelaskan bahwa model yang baik adalah model yang dapat menolong si
pengguna untuk mengerti dan memahami suatu proses secara mendasar dan
menyeluruh. Selanjutnya ia menjelaskan manfaat model adalah model dapat menjelaskan
beberapa aspek perilaku dan interaksi manusia, model dapat mengintegrasikan
seluruh pengetahuan hasil observasi dan penelitian, model dapat menyederhanakan
suatu proses yang bersifat kompleks, dan model dapat digunakan sebagai pedoman
untuk melakukan kegiatan.
Untuk
melakukan pengembangan kurikulum ada berbagai model pengembangan kurikulum yang
dapat dijadikan acuan atau diterapkan sepenuhnya. Secara umum, pemilihan model
pengembangan kurikulum dilakukan dengan cara menyesuaikan sistem pendidikan yang
dianut dan model konsep yang digunakan.
Dibawah ini akan dibahas beberapa model pengembangan kurikulum yang biasa di
gunakan di Indonesia.
2.1.1 Model Ralph Tyler
Model pengembangan kurikulum Tyler mengacu pada empat
pertanyaan dasar yang harus dijawab, dimana pertanyaan tersebut merupakan
pilar-pilar bangunan kurikulum. Proses pengembangan kurikulum dan pembelajaran
pada dasarnya adalah proses menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut membentuk hasil berupa kurikulum.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah :
1)
Tujuan
pendidikan apa yang harus dicapai oleh sekolah?
2)
Pengalaman-pengalaman
pendidikan apakah yang semestinya diberikan untuk mencapai tujuan pendidikan?
3)
Bagaimanakah
pengalaman-pengalaman pendidikan sebaiknya diorganisasikan?
4)
Bagaimanakah
menentukan bahwa tujuan telah tercapai?
Dengan demikian, model pengembangan kurikulum Tyler
memiliki 4 tahap.Dalam prosesnya, pengembangan kurikulum secara makro dengan
model ini harus melibatkan berbagai pihak seperti Perguruan Tinggi dan
masyarakat yang terdiri dari pada ahli, bidang studi, kurikulum, pendidikan,
psikologi, dan perkembangan anak dan bidang lainnya yang terkait.
![](file:///C:\Users\asus\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image004.jpg)
Gambar 1.1 : Model Pengembangan Kurikulum Tyler
Tahap-tahap tersebut harus dilakukan yaitu meliputi :
a)
Menentukan
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan merupakan arah atau sasaran akhir
yang harus dicapai dalam program pendidikan dan pembelajaran.Penetapan tujuan
adalah langkah pertama. Dalam tujuan ini harus menggambarkan arah pendidikan
yang akan dituju, jenis kemampuan apa yang harus dimiliki siswa setelah proses
pendidikan berakhir.
Rumusan tujuan kurikulum ini sangat tergantung pada
teori dan filsafat pendidikan yang dianut oleh pengembangnya, berdasarkan
berbagai masukan.Dalam pandangan Tyler ada tiga klasifikasi karakteristik
tujuan kurikulum yaitu tujuan kurikulum yang menakankan pada penguasaan konsep
dan teori ilmu pengetahuan (discipline
oriented).Tujuan kurikulum yang menekankan pada pengembangan pribadi atau
model humanistic (child centered).
Tujuan kurikulum yang menekankan pada upaya perbaikan kehidupan masyarakat (society centered).
Dengan merujuk pada tujuan kurikulum diatas, maka
terdapat tiga aspek yang harus dipertimbangkan dalam penentuan tujuan
pendidikan menurut Tyler, yaitu: 1) hakikat peserta didik, 2) kehidupan
masyarakat masa kiki, dan 3) pandangan para ahli bidang studi.
Ada lima factor yang menjadi arah penentuan tujuan
pendidikan, yaitu pengembangan kemampuan berpikir, membantu memperoleh
informasi, pengembangan sikap kemasyarakatan, pengembangan minat peserta didik,
dan pengembangan sikap social.
b)
Menentukan
Proses Pembelajaran
Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam
penentuan proses pembelajaran adalah persepsi dan latar belakang kemampuan
peserta didik. Pengalaman peserta didik akan sangat membantu dalam terwujudnya
tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam proses pembelajaran akan terjadi
interaksi antara peserta didik dengan lingkungan pendidikan atau sumber
belajar, yang tujuannya untuk membentuk sikap, pengetahuan dan keterampilan
sehingga muncul perilaku yang utuh.
c)
Menentukan
Organisasi Pengalaman Belajar
Pengalaman belajar sangat dipengaruhi oleh
tahapan-tahapan dan isi atau materi belajar. Tahapan-tahapan belajar yang
tersusus dengan rapi akan sangat membantu terwujudnya tujuan pembelajaran.
Kejelasan materi dan proses pembelajaran akan memberikan gambaran mengenai
jenis evaluasi yang akhirnya dapat digunakan.
d)
Menentukan
Evaluasi Belajar
Menentukan evaluasi belajar yang cocok merupakan tahap
akhir dalam model Tyler. Dalam menentukan evalusi belajar hendaknya mengacu
pada tujuan pembelajaran, materi pembelajaran serta proses pembelajaran yang
telah ditentukan sebelumnya. Selain itu, hendaknya merujuk pula pada
prinsip-prinsip evaluasi yang ada. (Tyler, 1975)
2.1.2 Model Administratif
Pengembangan kurikulum ini disebut juga dengan istilah
dari atas ke bawah (top down) atau
staff lini (line-staff procedure),
artinya dalam pengembangan kurikulum ini terdapat beberapa tahapan secara
prosedural yang harus ditempuh dengan dibantu oleh beberapa tim tertentu.
Langkah pertama adalah pembentukan ide awal yang
dilaksanakan oleh para pejabat tingkat atas, yang membuat keputusan dan
kebijakan berkaitan dengan pengembangagn kurikulum. Tim ini sekaligus sebagai
tim pengarah dalam pengembangan kurikulum.
Langkah kedua adalah membentuk suatu tim panitia
pelaksana atau komisi untuk mengembangkan kurikulum yang didukung oleh beberapa
anggota yang terdiri dari para ahli, yaitu: ahli pendidikan, kurikulum,
disiplin imu, tokoh masyarakat, tim
pelaksana pendidikan, dan pihak dunia kerja. Tim ini
bertugas untuk mengembangkan konsep-konsep umum, landasan, rujukan, maupun
strategi pengembangan kurikulum yang selanjutnya menyusun kurikulum secara
opersional berkaitan dengan pengembangan atau perumusan tujuan pendidikan
maupun pembelajaran, pemilihan dan penyusunan rambu-rambu dan substansi materi
pembelajaran, menyusun alternatif proses pembelajaran, dan menentukan penilaian
pembelajaran.
Langkah ketiga, kurikulum yang sudah selesai disusun
kemudia diajukan untuk diperiksa dan diperbaiki oleh tim pengarah. Tim ini
melakukan penyesuaian antara aspek-aspek kurikulum secara terkoordinasi dan
menyiapkan secara sistem dalam rangka uji coba maupun dalam rangka sosialisasi
dan penyebarluasan (desiminasi).Setelah perbaikan dan penyempurnaan, kurikulum
tersebut perlu diujicobakan secara nyata di beberapa sekolah yang diangga
representatif.Pelaksana uji coba adalah tenaga professional yang tidak
dilibatkan dalam penyusunan kurikulum.
Supaya uji coba tersebut menghasilkan masukan yang
efektif maka diperlukan kegiatan monitoring dan evaluasi yang fungsinya untuk
memperbaiki atau menyempurnakan berdasarkan pelaksanaan di lapangan.Kelemahan
dari model administratif adalah kurikulum ini bentuknya seragam dan bersifat
sentralistik, sehingga kurang sesuai jika diterapkan dalam dunia pendidikan
yang menganut asas desentralisasi.Selain dari pada iti, kurikulum ini kurang
tanggap terhadap perubahan nyata yang dihadapi para pelaksana kurikulum di
lapangan (Pembelajaran, 2002).
2.1.3 Model Grass Roots
Pengembangna kurikulum model ini adalah kebalikan dari
model administratif.Model Grass Roots adalah model pengembangan kurikulum yang
dimulai dari bawah. Dalam prosesnya pengembangan kurikulum ini diawali atau
dimulai dari gagasan dan ide guru-guru sebagai tim pengajar. Model ini lebih
demokratis karena digagas sendiri oleh pelaksana di lapangan, sehingga perbaikn
bisa dimulai dari unit yang paling terkecil dan spesifik hingga ke yang lebih
besar.
Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatian dalam
menerapkan model pengembangan grass roots ini, yaitu:
a)
Guru harus
memiliki kemampuan yang professional,
b)
Guru harus
terlibat penuh dalam perbaikan kurikulum dan penyelesaian masalah kurikulum,
c)
Guru harus
terlibat langsung dalam perumusan tujuan, pemilihan bahan, dan penentuan
evalusi,
d)
Seringnya
pertemuan kelompok dalam pembahasan kurikulum yang akan berdampak terhadap
pemaham guru dan akan menghasilkan konsesus tujuan, prinsip, maupun
rencana-rencana.
Model pengambangan kurikulum ini dapat dikembangakan
pada lingkup luas maupun dalam lingkup yang sempit.Dapat berlaku untuk bidang
studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi dapat pula digunakan untuk
beberapa bidang studi maupun pada beberapa sekolah yang lebih luas.dalam
prosesnya, guru-guru harus mampu melakukan kerja operasional dalam pengembangan
kurikulum secara kooperatif sehingga dapat menghasilkan suatu kurikulum yang
sistemik.
Oleh karena itu pengembangan kurikulum model ini
sangat membutuhkan dukungan moril maupun materil yang bersifat kondusif dari
pihak pimpinan. Ada beberapa hal yang harus diantisipasi dalam model ini, di
antaranya adalah akan bervariasinya sistem kurikulum di sekolah karena
menerapkan partisipasi sekolah dan masyarakat secara demokratis. Sehingga
apabila tidak terkontrol (tidak ada kendali mutu), maka cenderung banyak
mengabaikan kebijakan pusat.
2.1.4 Model Demostrasi
Model pengembangan kurikulum idenya datang dari bawah
(grass roots).Semula merupakan suatu upaya inovasi kurikulum dalam skal kecil
yang selanjutnya digunakan dalam skala yang lebih luas, tetapi dalam prosesnya
sering mendapat tantangan atau ketidaksetujuan dari pihak-pihak
tertentu.Menurut Smith, Stanley, dan Shores, ada dua bentuk mpdel pengembangan
ini.
Pertama, sekelompok guru dari satu sekolah atau
beberapa sekolah yang diorganisasi dan ditunjuk untuk melaksanakan suatu uji
coba atau eksperimen suatu kurikulum.Unit-unit ini melakukan suatu proyek
melalui kegiatan penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan suatu model
kurikulum.Hasil dari kegiatan penelitian dan pengembangan ini diharapkan dapt
digunakan pada lingkungan sekolah yang lebih luas.pengembangan model ini
biasanya diprakarsai oleh pihak Departemen Pendidikan dan dilaksanakan oleh
kelompok guru dalam rangka inovasi dan perbaikan suatu kurikulum.
Kedua, dari beberapa orang guru yang merasa kurang
puas tentang kurikulum yang sudah ada, kemudian mereka mengadakan eksperimen,
uji coba dan mengadakan pengembangan secara mandiri. Pada dasarnya guru-guru
tersebut mencobakan yang dianggap belum ada, dan merupakan suatu inovasi
terhadap kurikulum, sehingga berbeda dengan pengembangan yang berlaku, dengan
harapan akan ditemukan pengembangan kurikulum yang lebih baik dari yang ada.
Ada beberapa kebaikan dalam penerapan model
pengembangan ini, diantaranya adalah:
a)
Kurikulum ini
lebih nyata dan praktis karena dihasilkan melalui proses yang telah diuji dan
diteliti secara ilmiah,
b)
Perubahan
kurikulum dalam skala kecil atau pada aspek yang lebih khusus kemungkinan kecil
akan ditolak oleh pihak administrator, akan berbeda dengan perubahan kurikulum
yang sangat luas dan kompleks,
c)
Hakekat model
demonstrasi berskala kecil akan terhindar dari kesenjangan dokumen dan
pelaksanaan di lapangan,
d)
Model ini akan
menggerakkan inisiatif, kreatifitas guru-guru serta memberdayakan sumber-sumber
administrasi untuk memenuhi kebutuhan dan minat guru dalam mengembangkan
program baru.
2.1.5 Model Miller-Seller
Pengembangan kurikulum ini ada perbedaan dengan
model-model sebelumnya.model pengembangan kurikulum Miller-Seller merupakan
pengembangan kurikulum kombinasi dari model transmisi (Gagne) dan model
transaksi (Taba’s & Robinson), dengan tahapan pengembangan sebagai berikut:
a)
Klarifikasi
Orientasi Kurikulum
Orientasi ini merefleksikan pandangan filosofis,
psikologos, dan sosiologis terhadap kurikulum yang seharusnya
dikembangkan.Menurut Miller dan Seller, ada tiga jenis orientasi kurikulum
yaitu tranmisi, transaksi, dan transformasi.
b)
Pengembangan
Tujuan Langkah
selanjutnya adalah mengembangkan tujaun umum dan
tujuan khusus berdasarkan orientasi kurikulum yang bersangkutan. Tujuan umum
dalam konteks ini adalah merefleksikan pandangan orang (image person) dan pandangan (image)kemasyarakatan.Tujuan
pengembangan merupakan tujuan yang masih relative umum.Oleh karena itu, perlu
dikembangkan tujuan-tujuan yang lebih khusus hingga pada tujuan instruksional.
c)
Identifikasi
Model Mengajar
Pada tahap ini pelaksana kurikulum harus
mengidentifikasi strategi mengajar yang akan digunakan yang disesuaikan dengan
tujuan dan orientasi kurikulum. Ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan
dalam menentukan model mengajar yang akan digunakan, yaitu:
1)
Disesuaikan
dengan tujuan umum maupun tujuan khusus.
2)
Strukturnya
harus sesuai dengan kebutuhan siswa.
3)
Guru yang
menerapkan kurikulum ini harus sudah memahami secara utuh, sudah dilatih, dan
mendukung model.
4)
Tersedia
sumber-sumber yang esensial dalam pengembangan model.
d)
Implementasi
Implementasi sebaiknya dilaksanakan dengan
memperhatikan komponenkomponen program studi, identifikasi sumber, pernana,
pengembangan professional, penetapan waktu, komunikasi, dan sistem monitoring.
Langkah ini merupakan langkah akhir dalam pengembangan kurikulum. Prosedur
orientasi yang dibakukan pada umumnya tidak sesuai dengan kurikulum
transformasi, sebaliknya kurikulum transmisi pada umumnya menggunakan
teknik-teknik evaluasi berstruktur dalam menilai kesesuaian antara pengelaman-pengalaman,
strategi be;ajar dan tujuan pendidikan (Seller, 1985).
2.1.6 Model Taba (Inverted Model)
Model Taba merupakan modifikasi model Tyler.
Modifikasi tersebut penekanannya terutama pada pemusatan perhatian guru. Menurut
Taba, guru harus penuh aktif dalam pengembangan kurikulum. Pengembangan
kurikulum yang dilakukan guru dan memposisikan guru sebagai innovator dalam
pengembang kurikulum merupakan karakteristik dalam model pengembangan
Taba.Dalam pengembangannya, model ini lebih bersifat induktif, berbeda dengan
model tradisional yang deduktif.
Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
a)
Mengadakan
unit-unit eksperimen bersama dengan guru-guru.
Dalam kegitaan ini perlu mempersiapkan (1) perencanaan
berdasarkan pada teori-teori yang kuat, (2) eksperimen harus dilakukan di dalam
kelas agar menghasilkan data empiric dan teruji.
b)
Menguji unit
eksperimen.
Unit yang dihasilkan pada langkah pertama diujicobakan
di kelas-kelas eksperimen pada berbagai situasi dan kondisi belajar.Pengujian
dilakukan untuk mengetahui tingkat validitas dan kepraktisan sehingga dapat
menghimpun data untuk penyempurnaan.
c)
Mengadakan
revisi dan konsolidasi
Perbaikan dan penyempurnaan dilakukan berdasarkan data
yang dihimpun sebelumnya.selain perbaikan dan penyempurnaan, dilakukan juga
konsolidasi, yaitu penarikan kesimpulan pada hal-hal yang bersifat umum dan
konsisten teori yang digunakan.
d)
Pengembangan keseluruhan
kurikulum (developing’ a framework).
Langkah ini
merupakan tahap pengkajian kurikulum yang telah direvisi.
e)
Implementasi dan
desiminasi.
Dalam tahap ini dilakukan penerapan dan penyebarluasan
program ke daerah dan sekolah-sekolah, dan dilakukan pendataan tentang
kesulitan serta permasalaham yang dihadapi guru-guru di lapangan.Oleh karena
itu perlu diperhatikan tentang persiapan di lapangan yang berkaitan dengan
aspek-aspek penerapan kurikulum.
2.1.7 Model Beauchamp
Model ini dikembangakan oleh George A. Beuchamp,
seorang ahli kurikulum. Menurut Beauchamp, proses pengembangan kurikulum
meliputi lima tahap yaitu:
a)
Menentukan area
atau wilayah akan dicakup oleh kurikulum
Penentuan tahap ini ditentukan pemegang wewenang yang
dimiliki pengambil kebijakan dibidang kurikulum.
b)
Menetapkan
personalia
Tahap ini menentukan siapa saja orang yang akan
terlibat dalam pengembangan kurikulum. Ada empat kategori orang yang sebaiknya
dilibatkan, yaitu: para ahli pendidikan atau kurikulum yang ada pada pusat
pengembangan kurikulum dan ahli bidang studi; para ahli pendididkan dari
perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru terpilih; para professional dalam
bidang pendidikan; professional lain dan tokoh masyarakat.
c)
Organisasi dan
prosedur pengembangan kurikulum
Langkah ini berkenaan dengan prosedur dalam merumuskan
tujuan umum dan tujuan khusus, memilih isi dan pengalaman belajar, serta
kegiatan evaluasi, juga dalam menentukan desain kurikulum secara keseluruhan.
d)
Implementasi
kurikulum
Tahap ini yaitu pelaksanaan kurikulum yang telah
dikembangkan oleh tim pengembang. Dalam pelaksanaan kurikulum dibutuhkan
kesiapan guru, siswa, fasilitas, biaya, manajerial dan kepemimpinan sekolah.
e)
Evaluasi
kurikulum
Hal-hal penting yang dievaluasi yaitu: pelaksanaan
kurikulum oleh guru-guru, desain kurikulumnya, hasil belajar siswa, keseluruhan
dari sistem kurikulum(Beauchamp, 1975).
2.2 Pendekatan-Pendekatan Pengembangan Kurikulum
Pendekatan adalah cara
kerja dengan menerapkan strategi dan metode yang tepat dengan mengikuti
langkah-langkah pengembangan yang sistematis agar memperoleh kurikulum yang
lebih baik.(Idi, 2007, hal. 199)
Ada beberapa pendekatan dalam
pengembangan kurikulum diantaranya sebagai berikut: (Idi, 2007, hal. 200-203)
1.
Pendekatan Bidang Studi
2.
Pendekatan Berorientasi
pada Tujuan
3.
Pendekatan dengan Pola
Organisasi Bahan
4.
Pendekatan
Rekonstruksionalisme
5.
Pendekatan Humanistik
6. Pendekatan
Akuntabilitas
Untuk memahami pendekatan tersebut,
berikut penjelasannya.
2.2.1 Pendekatan Bidang Studi (pendekatan subjek atau disiplin ilmu)
Pendekatan ini
menggunakan bidang studi atau mata pelajaran sebagai dasar organisasi
kurikulum, misalnya matematika, sains, sejarah, geografi, atau IPA, IPS, dan
sebagainya seperti yang lazim kita dapati dalam sistem pendidikan kita sekarang
di semua sekolah dan universitas.
Pengembangan dimulai
dengan mengidentifikasi secara teliti pokok-pokok bahasan yang akan dibahas,
kemudian pokok-pokok bahasan tersebut diperinci menjadi bahan-bahan pelajaran
yang harus dikuasai, dan akhirnya mengidentifikasi dan mengurutkan pengalaman
belajar dan ketrampilan-keterampilan prerequisite
yang harus dilakukan oleh anak didik.
Prioritas pendekatan
ini adalah mengutamakan sifat perencanaan program dan juga mengutamakan
penguasaan bahan dan proses dalam disiplin ilmu tertentu. Karena
setiap ilmu pengetahuan memiliki sistematisasi tertentu dan berbeda dengan
sistematisasi ilmu lainnya. Pengembagan kurikulum subyek akademik dilakukan dengan
cara menetapkan terlebih dahulu mata pelajaran apa yang harus dipelajari
peserta didik, yang diperlukan untuk (persiapan) pengembangan disiplin ilmu.
Dari
pendekatan subjek akademik ini diharapkan agar peserta didik dapat menguasai
semua pengetahuan yang ada di kurikulum tersebut. Karena kurikulum sangat
mengutamakan pengetahuan maka pendidikan lebih bersifat intelektual. Kurikulum
subjek akademik tidak berarti hanya menekankan pada materi yang disampaikan,
dalam perkembangannya secara berangsur-angsur memperhatikan proses belajar yang
dilakukan siswa. Proses belajar yang dipilih sangat bergantung pada hal apa
yang terpenting dalam materi tersebut.
Dalam
pendekatan pengembangan kurikulum ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Tujuan
Tujuan
kurikulum subjek akademik adalah pemberian pengetahuan yang solid serta melatih
para siswa menggunakan ide-ide dan proses “penelitian”. Para siswa harus
belajar mengunakan pemikiran dan dapat mengontrol dorongan-dorongannya,
sehingga diharapkan siswa mempunyai konsep dan cara yang terus dapat
dikembangkan di masyarakat yang lebih luas.
2.
Metode
Metode yang
banyak digunakan dalam pendekata subjek akademik adalah pendekatan metode
ekspositori dan inkuiri. Ide-ide diberikan guru kemudian dielaborasi
(dilaksanakan) siswa sampai mereka kuasai.Dalam materi disiplin ilmu
yang diperoleh, dicari berbagai masalah penting, kemudian dirumuskan dan dicari
cara pemecahannya.
3.
Organisasi isi
Ada beberapa
pola organisasi isi (materi pelajaran) kurikulum subyek akademik. Pola-pola
organisasi yang terpenting di antaranya:
1.
Correlated curriculum, adalah pola
organisasi materi atau konsep yang dipelajari dalam suatu pelajari dalam suatu
pelajaran dikorelasikan dengan pelajaran lainnya.
2.
Unified atau Concentrated, adalah
pola organisasi bahan pelajaran tersusun dalam tema-tema pelajaran tertentu,
yang mencakup materi dari berbagai pelajaran disiplin ilmu.
3.
Intregrated curriculum, kalau dalam
unified masih tampak warna displin ilmunya, maka dalam pola yang integrated
warna disiplin ilmu tersebut sudah tidak kelihatan lagi. Bahan ajar
diintegrasikan dalam suatu persoalan, kegiatan atau segi kehidupan tertentu.
4.
Problem Solving curriculum, adalah
pola organisasi isi yang beriisi topic pemecahan masalah social yang dihadapi
dalam kehidupan dengan menggunakan pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh
dari berbagai mata pelajaran atau disiplin ilmu.
5.
Evaluasi
Kurikulum
subjek akademik menggunakan bentuk evaluasi yang bervariasi disesuaikan dengan
tujuan dan sifat mata pelajaran. Dalam bidang studi humaniora lebih banyak
digunakan bentuk uraian (essay test) dari tes objektif. Karena bidang studi ini
membutuhkan jawaban yang merefleksikan logika, koherensi, dan integrasi secara
menyeluruh.
2.2.2 Pendekatan Berorientasi pada Tujuan
Pendekatan yang
berorientasi tujuan ini menempatkan rumusan atau penempatan tujuan yang hendak
dicapai dalam posisi sentral, sebab tujuan adalah pemberi arah dalam
pelaksanaan proses belajar mengajar. Tujuan matematika misalnya, sama dengan
konsep dasar dan disiplin ilmu matematika. Prioritas pendekatan ini adalah
penalaran pengetahuan
Kelebihan pendekatan pengembangan
kurikulum yang berorientasi pada tujuan adalah:
a.
Tujuan yang ingin
dicapai jelas bagi penyusun kurikulum
b.
Tujuan yang jelas akan
memberikan arah yang jelas pula di dalam menetapkan materi pelajaran, metode,
jenis kegiatan, dan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan
c.
Tujuan-tujuan yang
jelas itu juga akan memberikan arah dalam mengadakan penilaian terhadap hasil
yang dicapai
d.
Hasil penelitian yang
terarah itu akan membantu penyusun kurikulum di dalam mengadakan
perbaikan-perbaikan yang diperlukan
2.2.3 Pendekatan dengan Pola Organisasi Bahan
Pendekatan ini dapat
dilihat dari pola pendekatan: subject
matter curriculum, correlated curriculum, dan integrated curriculum.
a.
Pendekatan pola subject matter curriculum
Penekanannya
pada berbagai mata pelajaran secara terpisah-pisah, misalnya: sejarah, ilmu
bumi, biologi, berhitung, dan sebagainya. Mata pelajaran ini tidak berhubungan
satu sama lain.
b. Pendekatan
pola correlated curriculum
Pendekatan
ini adalah pendekatan dengan pola mengelompokkan beberapa mata pelajaran
(bahan) yang sering dan bisa secara dekat berhubungan. Misalnya, bidang studi
IPA, IPS, dan sebagainya.
c. Pendekatan
pola integrated curriculum
Pendekatan
ini didasarkan pada keseluruhan hal yang mempunyai arti tertentu. Keseluruhan
itu tidak hanya merupakan kumpulan dari bagian-bagiannya, tetapi mempunyai arti
tertentu. Dalam hal ini, tidak hanya melalui mata pelajaran yang
terpisah-pisah, namun harus dijalin suatu keutuhan yang meniadakan batas
tertentu dari masing-masing bahan pelajaran.
2.2.4 Pendekatan Rekonstruksionalisme
Pendekatan
ini disebut Rekonstuksi sosial. Kurikulum rekonstruksi sosial sangat
memperhatikan hubungan kurikulum dengan sosial masyarakat dan politik
perkembangan ekonomi. Banyak prinsip kelompok ini yang konsisten dengan cita-cita
tertinggi, contohnya masalah hak asasi kaum minoritas, keyakinan dalam
intelektual masyarakat umumnya, dan kemampuan menentukan nasib sendiri sesuai
arahan yang mereka inginkan.
Pengajaran
kurikulum rekonstruksi sosial banyak dilaksanakan di daerah-daerah yang
tergolong belum maju dan tingkat ekonominya juga belum tinggi. Pelaksanaan
pengajaran ini diarahkan untuk meningkatkan kondisi kehidupan mereka. Sesuai
dengan potensi yang ada dalam masyarakat, sekolah mempelajari potensi-potensi
tersebut, dengan bantuan biaya dari pemerintah sekolah berusaha mengembangkan
potensi tersebut. Di daerah pertanian misalnya maka sekolah harus mengembangkan
bidang pertanian, sementara kalau daerah industry maka yang harus dikembangkan
oleh sekolah adalah bidang industri. Sehingga kurikulum tersebut dapat memenuhi
kebutuhan masyarakatdaerah tersebut.
Kurikulum
rekonstruksi sosial bertujuan untuk menghadapkan peserta didik pada berbagai
permasalahan manusia dan kemanusian. Para pendukung kurikulum ini yakin, bahwa
permasalahan yang muncul tidak harus diperhatikan oleh “pengetahuan sosial”
saja, tetapi oleh setiap disiplin ilmu.
Kegiatan yang dilakukan dalam kurikulum
rekonstruksi sosial antara lain melibatkan: (Hamalik, 2008, hal. 146)
1. Survei
kritis terhadap suatu masyarakat
2. Studi yang
melibatkan hubungan antara ekonomi lokal dengan ekonomi nasional atau
internasional
3. Studi pengaruh
sejarah dan kencenderungan situasi ekonomi lokal
4. Uji coba
kaitan praktik politik dengan perekonomian
5. Berbagai
pertimbangan perubahan politik, dan
6.
Pembatasan kebutuhan masyarakat pada
umumnya.
Dari
pemikiran diatas, maka penyusunan dan pengembangan kurikulum harus bertitik
tolak dari problem yang dihadapi dalam masyarakat. Pendekatan kurikulum
rekonstrksi sosial ini selain menekan pada isi pembelajaran, sekaligus juga
menekankan pada proses pendidikan dari pengalaman belajar. Ini dikarenakan,
pendekatan rekonstruksi sosial berasumsi bahwa, manusia adalah makhluk sosial
yang sepanjang kehidupannya membutuhkan orang lain, selalu bersama,
berinteraksi dan bekerjasama.
Dari
pendekatan kurikulum rekonstruksi sosial ini, nantinya diharapkan peserta didik
mempunyai tanggung jawab dalam masyarakatnya guna membantu pemerintah dalam
perbaikan-perbaikan dalam masyarakatnya yang lebih baik lagi kedepannya.
Adapun
pendekatan kurikulum rekonstruksi sosial ini mempunyai ciri-ciri berkenaan
dengan:
1.
Tujuan
Tujuan utama
kurikulum rekonstruksi sosial adalah menghadapkan para peserta didik pada
tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau gangguan-gangguan yang dihadapi
manusia. Karena itu, tujuan program pendidikan setiap tahun berubah.
Tantangan-tantangan tersebut merupakan bidang garapan selain bidang studi
agama, juga perlu didekati dari bidang-bidang lain seperti ekonomi, sosiologi,
ilmu pengetahuan alam, estetika, matematika dan lain-lain.
2.
Metode
Tugas guru
dalam kegiatan pembelajaran dalam kurikulum rekonstruksi sosial, yaitu:
berusaha mencari keselarasan antara tujuan-tujuan nasional dengan tujuan
peserta didik. Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran guru harus dapat
membantu para peserta didik untuk menemukan minat dan kebutuhannya.
3.
Organisasi Isi
Pola
organisasi isi kurikulum rekonstruksi sosial disusun seperti roda.
Ditengah-tengahnya sebagai poros dipilih sesuatu masalah yang menjadi tema
utama dan dibahas secara pleno. Tema-tema tersebut dijabarkan ke dalam sejumlah
topik yang dibahas dalam diskusi kelompok, latihan-latihan, kunjungan dan
lain-lain. Topik-topik dengan berbagai kelompok ini merupakan jari-jari. Semua
kegiatan jari-jari tersebut dirangkum menjadi satu kesatuan sebagai bingkai
atau velk.
4.
Evaluasi
Dalam
kegiatan evaluasi para peserta didik dilibatkan. Keterlibatan para peserta
didik terutama dalam memilih, menyusun, dan menilai bahan yang akan diujikan.
Soal-soal yang akan diujikan terlebih dahulu diuji untuk menilai ketepatan
maupun keluasan isinya. Selain itu juga untuk menilai keampuhannya dalam
menilai pencapaian tujuan-tujuan pembangunan kehidupan keberagaman masyarakat
yang sifatnya kualitatif.
2.2.5 Pendekatan Humanistik
Pada pendekatan humanistik berpusat
pada siswa, jadi student centered, dan mengutamakan perkembangan afektif siswa
sebagai prasyarat dan sebagai bagian integral dari proses belajar.
Para
pendidik humanistik yakin, bahwa kesejahteraan mental dan emosional siswa harus
dipandang sentral dalam kurikulum, agar belajar itu memberi hasil maksimal.
Menurut Somantrie dalam Abdullah Idi (2007, hal. 203). bahwa pada pendekatan
humanistik prioritasnya adalah pengalaman belajar yang diarahkan terhadap
tanggapan minat, kebutuhan dan kemampuan anak.
Permasalahan yang perlu disadari
adalah bahwa materi bukanlah tujuan. Dengan demikian, keberhasilan pendidikan
tidak semata-mata diukur dengan lancarnya proses transmisi nilai-nilai (dalam
hal ini materi pelajaran yang terformat dalam kurikulum), melainkan lebih dari
sekadar hal itu. Pendidikan humanistik menganggap materi pendidikan lebih
merupakan sarana, yakni sarana untuk membentuk pematangan humanisasi peserta
didik, jasmani dan ruhani secara gradual.(Makin, 2007, hal. 192)
Jadi dari
hal tersebut dapatlah kita pahami bahwa pada pendekatan humanistik tujuan dari
pendidikan itu bukan hanya pada nilai-nilai yang dapat dicapai pesera didik
tapi lebih kepada pembentukan perubahan pada peserta didik, baik secara jasmani
maupun ruhani. Selanjutnya siswa hendaknya diturut sertakan dalam penyelenggaraan
kelas dan keputusan instruksional. Dan siswa hendaknya turut serta dalam
pembuatan, pelaksanaan, dan pengawasan peraturan sekolah. Siswa hendaknya
diperbolehkan memilih kegiatan belajar, dan siswa boleh membuktikan hasil
belajarnya melalui berbagai macam karya atau kegiatan.
Dalam kurikulum humanistik, guru
diharapkan dapat membangun hubungan emosional yang baik dengan peserta
didiknya, untuk perkembangan individu peserta didik itu selanjutnya. Oleh
karena itu, peran guru yang diharapkan adalah sebagai berikut:(Hamalik, 2008, hal. 144)
1. Mendengar
pandangan realitas peserta didik secara komprehensif
2. Menghormati
individu peserta didik, dan
3. Tampil
alamiah, otentik, tidak dibuat-buat.
Tugas guru
dalam kurikulum humanistik adalah menciptakan situasi yang permisif dan
mendorong peserta didik untuk mencari dan mengembangkan pemecahan sendiri. Dan
tujuan pengajaran adalah memperluas kesadaran diri sendiri dan mengurangi
kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan. Dari sini jelaslah bahwa
pendekatan pengembangan kurikulum humanistik ini mengaharapkan perkembangan
diri siswa sehingga dapat menemukan kepribadiannya yang hidup ditengah-tengah
masyarakat.
Pendekatan
pengembangan kurkulum ini mempunyai beberapa ciri-ciri, yakni:
1.
Tujuan
Tujuan
pendidikannya adalah proses perkembangan pribadi yang dinamis yang diarahkan
pada pertumbuhan, integritas, dan otonomi kepribadiaan, sikap yang sehat
terhadap diri sendiri, orang lain, dan belajar. Semuanya itu merupakan bagian
dan cita-cita perkembangan manusia yang teraktualisasi (self actualizing
person). Seseorang yang telah mampu mengaktualisasikan diri adalah orang yang
telah mencapai keseimbangan (harmoni) perkembangan seluruh aspek pribadinya
baik aspek kognitif, estetika, maupun moral.
2.
Metode
Pengembangan
kurikulum humanistik menuntut hubungan emosional yang baik antara guru dan
siswa. Karenanya, menuntut kemampuan guru untuk memilih metode pembelajaran
yang dapat menciptakan hubungan yang hangat antara guru dengan murid, antara
murid dengan murid, dapat memberikan dorongan agar saling percaya. Dalam
kegiatan pembelajaran guru tidak boleh memaksakan sesuatu yang tidak disenangi
oleh peserta didik.
3.
Organisasi Isi
Kurikulum
humanistik harus mampu memberikan pengalaman yang menyeluruh, bukan pengalaman
yang terpenggal-penggal. Karenanya peran guru yang diharapkan adalah sebagai
berikut:
1)
Mendengarkan pandangan realitas
peserta didik secara komprehensif
2)
Menghormati individu peserta didik,
dan
3) Tampil alamiah,
otentik, tidak dibuat-buat
4.
Evaluasi
Evaluasi
kurikulum humanistik berbeda dengan evaluasi pada umumnya, yang lebih
ditekankan pada hasil akhir atau produk. Sebaliknya, evaluasi kurikulum
humanistik lebih menekankan pada proses yang dilakukan. Kurikulum ini melihat
kegiatan sebagai sebuah manfaat untuk peserta didik masa depan. Kelas yang baik
akan menyediakan berbagai pengalaman untuk mambantu peserta didik menyadari
potensi mereka dan orang lain, serta dapat mengembangkannya.
Pada
kurikulum ini, guru diharapkan mengetahui respon peserta didik terhadap
kegiatan mengajar. Guru juga diharapkan mengamati apa yang sudah dilakukannya,
untuk melihat umpan balik setelah kegiatan belajar dilakukan.
2.2.6 Pendekatan Akuntabilitas (Accountability)
Accountability
atau pertanggungjawaban lembaga pendidikan tentang pelaksanaan tugasnya kepada
masyarakat, akhir-akhir ini tampil sebagai pengaruh yang penting dalam dunia
pendidikan. Namun, menurut banyak pengamat pendidikan accountability ini telah
mendesak pendidikan dalam arti yang sebenarnya menjadi latihan belaka.(Nasution, 2010, hal. 50)
Accountability
yang sistimatis yang pertama kalinya diperkenalkan Frederick Taylor dalam
bidang industri pada permulaan abad ini. Pendekatannya, yang kelak dikenal
sebagai “scientific management” atau manajemen ilmiah, menetapkan tugas-tugas
spesifik yang harus diselesaikan pekerja dalam waktu tertentu. Agar
memenuhi tuntutan itu, para pengembang kurikulum terpaksa mengkhususkan tujuan
pelajaran agar dapat mengukur prestasi belajar. Dalam banyak hal, gerakan ini
menuju kepada ujian akademis yang ketat sebagai syarat memasuki universitas.
2.2.7 Pendekatan Teknologis
Salah satu
ciri gloalisasi adalah pesatnya arus informasi melalui berbagai alat teknologi
seperti telepon, radio, televisi, teleconference sampai dengan satelit, dan
internet. Kehadiran teknologi perlu di manfaatkan oleh dunia pendidikan dalam
upaya pemerataan kesempatan, peningkatan mutu, relevansi dan efesiensi
pendidikan.
Perspektif
teknologi sebagai kurikulum ditekankan pada efektifitas program metode dan
material untuk mencapai suatu manfaat dan keberhasilan. Teknologi memengaruhi
kurikulum dalam dua cara, yaitu aplikasi dan teori. Aplikasi teknologi
merupakan suatu rencana penggunaan beragam alat dan media, atau tahapan basis
instruksi. Sebagai teori, teknologi digunakan dalam pengembangan dan evaluasi
material kurikulum dan instruksional.(Hamalik, 2008, hal. 148)
Pandangan
pertama menyatakan bahwa pemanfaatan teknologi lebih diarahkan pada bagaimana
mengajarnya, bukan apa yang diajarkan. Sementara pandangan kedua menyatakan
bahwa teknologi diarahkan pada penerapan tahapan instruksional.
Penerapan
teknologi dalam bidang pendidikan khususnya kurikulum adalah dalam dua bentuk,
yaitu bentuk perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware).
Penerapan teknologi perangkat keras dalam pendidikan dikenal sebagai teknologi
alat (tools technology), sedangkan penerapan teknologi perangkat lunak disebut
juga teknologi sistem (system technology).
Teknologi
pendidikan dalam arti teknologi alat, lebih menekankan kepada penggunaan
alat-alat teknologi untuk menunjang efisiensi dan efektifitas pendidikan.
Kurikulumnya berisikan rencana-rencana penggunaan berbagai alat dan media, juga
model-model pengajaran yang banyak melibatkan penggunaan alat. Contoh-contoh
model pengajaran tersebut adalah: pengajaran dengan bantuan film dan video,
pengajaran berprogram, mesin pengajaran, pengajaran modul. Pengajaran dengan
bantuan komputer, dan lain-lain.
Kurikulum
yang dikembangkan dari konsep teknologi pendidikan memiliki beberapa ciri
khusus, yaitu:(Sukamdinata, 2004, hal. 97-98)
1.
Tujuan
Tujuan
diarahkan pada penguasaan kompetensi, yang dirumuskan dalam bentuk perilaku.
Tujuan-tujuan yang bersifat umum yaitu kompetensi dirinci menjadi tujuan-tujuan
khusus, yang disebut objektif atau tujuan instruksional. Objektif ini
menggambarkan perilaku, perbuatan atau kecakapan-ketrampilan yang dapat
diamati.
2.
Metode
Metode
merupakan kegiatan pembelajaran sering dipandang sebagai proses mereaksi
terhadap perangsang-perangsang yang diberikan dan apabila terjadi respons yang
diharapkan maka respons tersebut diperkuat.
3.
Organisasi bahan ajar
Bahan ajar
dan isi kurikulum banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu
sedemikian rupa sehingga mendukung penguasaan sesuatu kompetensi. Bahan ajar
atau kompetensi yang luas/besar dirinci menjadi bagian-bagian atau
subkompetensi yang lebih kecil, yang menggambarkan objektif. Urutan dari
objektif-objektif ini pada dasarnya menjadi inti organisasi bahan.
4.
Evaluasi
Kegiatan
evaluasi dilakukan pada setiap saat, pada akhir suatu pelajaran, suatu unit
atau semester. Fungsi evaluasi ini bermacam-macam, sebagai umpan balik bagi
siswa dalam penyempurnaan penguasaan suatu satuan pelajaran (evaluasi
formatif), umpan balik bagi siswa pada akhir suatu program atau semester
(evaluasi sumatif). Juga dapat menjadi umpan balik bagi guru dan pengembang
kurikulum untuk penyempurnaan kurikulum. Tes evaluasi yang biasa dilakukan
adalah tes objektif.
2.2.8 Pendekatan Pembangunan Nasional (National Development Approach)
Pendekatan ini mengandung tiga unsur
:(Nasution, 2010, hal. 43)
1. Pendidikan
kewarganegaraan
Dalam masyarakat demokratis,
warganegara dapat dimasukkan dalam tiga kategori:
1) Warganegara
yang apatis
2) Warganegara
yang pasif
3) Warganegara
yang aktif
2. Pendidikan
sebagai alat pembangunan nasional
Tujuan pendidikan ini adalah mempersiapkan
tenaga kerja yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Para
pengembang kurikulum bertugas untuk mendisain program yang sesuai dengan
analisis jabatan yang akan diduduki.
3. Pendidikan
keterampilan praktis bagi kehidupan sehari-hari
Keterampilan yang diperlukan bagi
kehidupan sehari- hari dapat dibagi dalam beberapa kategori yang tidak hanya
bercorak keterampilan akan tetapi juga mengandung aspek pengetahuan dan sikap,
yaitu:
1.
Keterampilan untuk mencari nafkah
dalam rangka sistim ekonomi suatu negara.
2.
Keterampilan untuk mengembangkan
masyarakat.
3. Keterampilan
untuk menyumbang kepada kesejahteraan umum.
4.
Keterampilan sebagai warganegara
yang baik
Dari
beberapa pendekatan pengembangan kurikulum ini, maka penyusunan kurikulum harus
dapat melihat kepada ilmu pengetahuan itu sendiri yang dapat dikaitkan dengan
kepentingan peserta didik sebagai manusia/individu, dan kurikulum juga harus
dapat menyesuaikan dengan perkembangan teknologi sekarang ini, serta yang tidak
kala pentingnya adalah kurikulum dibuat dengan memperhatikan kepentingan
masyarakat tiap-tiap daerah.
2.3 Orientasi Pengembangan Kurikulum
Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya dua tahun sebelum pendidikan di Indonesia di katakan telah belajar
walaupun masih apa adanya. Pendidikan tidak akan terlepas dari proses
pembelajaran yang dilalui dalam setiap jenjang pendidikan, atau yang biasa
disebut dengan Kurikulum Pendidikan. Begitu pun pada awal berdiri pendidikan di
Indonesia kurikulum masih belum rapih. Dari waktu kewaktu kurikulum di Indonesia
selalu berusaha untuk disempurnakan, untuk mengarah pada penyempurnaan
kurikulum. Orientasi setiap kurikulum yang berlaku dalam pendidikan di
Indonesia berbeda-beda, yang tidak terlepas dari konsep perancang awal
kurikulum
2.3.1 Perjalanan Kurikulum di Indonesia
Indonesia
sejak merdeka sangat memperhatikan system pendidikan yang ada, begitupun dengan
kurikulum yang digunakan. Dibawah ini akan dibahas mengenai perjalanan
kurikulum di Indonesia.
1) Rencana
Pembelajaran Tahun 1947
Kurikulum pertama yang lahir
pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam
bahasa belanda yang artinya rencana pelajaran. Perubahan kisi-kisi pendidikan
lebih bersidat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan
nasional. Asas pendidikan ini ditetapkan Pancasila. Rencana Pelajar 1947 baru
dilaksanakan sekolah pada 1950. Memuat pada dua hal pokok: Daftar mata
pelajaran dan Jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana
Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak,
kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan
kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
2)
Rencana Pembelajaran Terurai Tahun
1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang
disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas
sekali, Seorang guru mengajar satu mata pelajaran.” Menurut Djauzak Ahmad,
Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Di penghujung era
Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya
pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral
(Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang
studi: Moral, Kecerdasan, Emosional/Artistik, Keprigelan (keterampilan), dan
Jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan
fungsional praktis.
3)
Rencana Pendidikan Tahun 1964
Awalnya pada tahun 1947, kurikulum saat itu diberi
nama Rentjana Pelajaran 1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia
masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang,. Rentjana
Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial
Belanda.Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia
mengalami penyempurnaan, diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Yang
paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini yaitu bahwa setiap
rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan
kehidupan sehari-hari. Setelah tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah
kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Diberi nama Rentjana
Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum ini adalah bahwa pemerintah
mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan
pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana,
yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan dan
jasmani.
4)
Kurikulum
1968
Kelahiran kurikulum ini bernuansa politik, mengganti
produk orde lama menjadi produk orde baru. Tujuan kurikulum ini adalah pada
pembentukan manusia pancasila sejati. Kurikulum 1968 ini menekankan pendekatan
organisaasi materi pelajaran, kelompok pembinaan pancasila, pengetahuan dasar
dan pengetahuan khusus. Jumlah materi yang diajukan adalah 9 buah. Kurikulum
ini disebut kurikulum bulat. Kurikulum yang hanya memuat mata pelajaran pokok
saja. Muatan pelajarannya bersifat teoritis, tidak mengaitkan materi pelajaran
dengan permasalahan factual dilapangan. Titik tekan terberat hanya pada materi apa
yang tepat yang harus diberikan kepada siswa disetiap jenjang yang harus
dilalui.
5)
Kurikulum
1975
Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968,
menekankan pada tujuan agar pendidikan lebih efektif dan efisien. Yang melatar
belakangi berdirinya kurikulum ini adalah pengaruh konsep managemen, yaitu
managemen obyektifitas. Metode, materi dan tujuan pengajaran dirinci dalam
prosedur Pengembangan Prosedur Sistem Intruksional(PPSI). Pada kurikulum ini
dikenal dengan istilah satuan pengajaran, yaitu rencana pelajaran setiap satuan
bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi, yaitu : Petunjuk umum, Tujuan
Intruksional Khusus (TIK), Materi pelajaran, Alat pelajaran, Kegiatan
belajar-mengajar dan Evaluasi.
6)
Kurikulum 1984
Menjelang tahun 1983 antara kebutuhan atau tuntutan
masyarakat dan ilmu pengetahuan/teknologi terhadap pendidikan dalam kurikulum
1975 dianggap tidak sesuai lagi. Oleh karena itu diperlukan perubahan
kurikulum. Kurikulum 1984 tampil sebagai perbaikan atau revisi terhadap
kurikulum 1975. Secara umum dasar perbuhan kurikulum 1975 ke kurikulum 1984 di
antaranya sebagai berikut:
a.
Terdapat beberapa unsur dalam GBHN
1983 yang belum tertampung ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah.
b.
Terdapat ketidak serasian antara
materi kurikulum berbagai bidang studi dengan kemampuan anak didik.
c.
Terdapat kesenjangan antara program
kurikulum dan pelaksanaannya di sekolah.
d.
Terlalu padatnya isi kurikulum yang
harus diajarkan di setiap jenjang.
e.
Pengadaan program studi baru
(seperti di SMA) untuk memenuhi kebutuhan perkembangan lapangan kerja.
Cara belajar siswa aktif (CBSA) merupakan salah satu
cara pendekatan belajar-mengajar yang menuntut keaktifan dan partisipasi aktif
baik fisik, intelektual dan emosional peserta didik seoptimal mungkin dapat
mengubah perilakunya secara lebih efektif dan efisien. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilny di
sekolah-ssekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat
diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan
CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa
berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi
mengajar model berceramah. Dengan adanya praktik semacam itu, mengakibatkan
banyaknya penolakan yang bermunculan.
7)
Kurikulum 1994 dan suplemen kurikulum 1999
Pada kurikulum sebelumnya, yaitu kurikulum 1984,
proses pembelajaran menekankan pada pola pengajaran yang berorientasi pada
teori belajar mengajar dengan kurang memperhatikan muatan (isi) pelajaran. Hal
ini terjadi karena berkesesuaian suasana pendidikan di LPTK (Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan) pun lebih mengutamakan teori tentang proses belajar
mengajar. Akibatnya, pada saat itu dibentuklahTim Basic Science yang
salah satu tugasnya ikut mengembangkan kurikulum di sekolah. Tim ini memandang
bahwa materi (isi) pelajaran harus diberikan cukup banyak kepada siswa,
sehingga siswa selesai mengikuti pelajaran pada periode tertentu akan
mendapatkan materi pelajaran yang cukup banyak.
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum
1984 dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu
pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan.
Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap
diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi
pelajaran cukup banyak.
8)
Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis
Kompetensi)
Implementasi pendidikan di sekolah mengacu pada
seperangkat kurikulum. Salah satu bentuk inovasi yang dikembangkan pemerintah
guna meningkatkan mutu pendidikan adalah melakukan inovasi di bidang kurikulum.
Kurikulum 1994 disempurnakan lagi sebagian respon terhadap perubahan struktural
dalam pemerintahan dari sentralistik menjadi disentralistik sebagai konsekuensi
logis dilaksanakannya UU No. 22 dan 25 tentang otonomi daerah. Pada era ini
kurikulum yang dikembangkan diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
KBK adalah seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil
belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan
pemberdayaan su,ber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah
(Depdiknas, 2002).
Kurikulum ini menitik beratkan pada pengembangan
kemampuan melakukan (kompentensi) tugas-tugas dengan standar performasi
tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa
penguasaan terhadap serangkat kompetensi tertentu.
9)
Kurikulum
2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
Kurikulum ini dikatakan sebagai perbaikan dari KBK
yang diberi nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP ini merupakan
bentuk implementasi dari UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional yang dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan
Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan.
Peraturan
Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan
delapan standar nasional pendidikan, yaitu:
a. Standar isi
b. Standar proses
c. Standar
kompetensi lulusan
d. Standar
pendidik dan tenaga kependidikan
e. Standar
sarana dan prasarana
f. Standar
pengelolaan, standar pembiayaan
g. Standar
penilaian pendidikan
Secara substansial, pemberlakuan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada,
yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan
pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (dan
bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter), yaitu:
a.
Menekankan pada ketercapaian
kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
b.
Berorientasi pada hasil belajar
(learning outcomes) dan keberagaman.
c.
Sumber belajar bukan hanya guru,
tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
d.
Penilaian menekankan pada proses dan
hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
10)
Kurikulum
2013
Kurikulum 2013 atau Pendidikan
Berbasis Karakter adalah kurikulum baru yang dicetuskan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk menggantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum 2013 merupakan sebuah kurikulum yang mengutamakan
pemahaman, skill, dan pendidikan berkarakter, siswa dituntut untuk paham
atas materi, aktif dalam berdiskusi dan presentasi serta memiliki sopan santun
disiplin yang tinggi.
Kurikulum ini menggantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang diterapkan sejak 2006 lalu. Dalam Kurikulum 2013
mata pelajaran wajib diikuti oleh seluruh peserta didik di satu satuan
pendidikan pada setiap satuan atau jenjang pendidikan. Mata pelajaran pilihan
yang diikuti oleh peserta didik dipilih sesuai dengan pilihan mereka.Kedua
kelompok mata pelajaran tersebut (wajib dan pilihan) terutama dikembangkan
dalam struktur kurikulum pendidikan menengah (SMA dan SMK) sementara itu
mengingat usia dan perkembangan psikologis peserta didik usia 7 – 15 tahun maka
mata pelajaran pilihan belum diberikan untuk peserta didik SD dan SMP.
2.3.2 Orientasi Pengembangan Kurikulum di Indonesia
Dalam
usaha mengefektifkan implementasi kurikulum pendidikan harus memperhatikan
prinsip dasar salah satunya yaitu, prinsip orientasi pada tujuan. Artinya agar
seluruh kurikulum terarah, perlu diarahkan pada tujuan pendidikan yang tersusun
sebelumnya. Selain itu, perlu adanya persiapan khusus bagi penyelenggara
pendidikan untuk menetapkan tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh peserta didik
seiring dengan tugas manusia sebagai hamba dan khalifah Allah (Muhaimin, 1993:
193-194).
Perubahan
kurikulum dari masa ke masa ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Lebih menitik beratkan pencapaian target
kompetensi (attainment targets)
daripada penguasaan.
b. Lebih
mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia.
c. Memberikan
kebebasan yang lebih luas kepada pelaksanaan pendidikan di lapangan untuk
mengembangkan dan melaksanakan program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan.
Orientasi
Pengembangan kurikulum menurut Seller menyangkut enam aspek, yaitu:
1. Tujuan
pendidikan menyangkut arah kegiatan pendidikan. Artinya , hendak dibawa ke mana
siswa yang kita didik itu.
2. Pandangan
tentang anak. Apakah anan dianggap sebagai organisme yang aktif atau pasif.
3. Pandangan
tentang proses pembelajaran. Apakah proses pembelajaran itu dianggap sebagai
proses transformasi ilmu pengetahuan atau mengubah prilaku.
4. Pandangan
tentang lingkungan. Apakah lingkungan belajar harus dikelola secara formal,
atau secara bebas yang dapat memungkinkan anak bebas belajar.
5. Konsepsi
tentang peran guru . Apakah guru harus berperan sebagai instruktur yang
bersifat otoriter, atau guru dianggap sebagai fasilitator yang siap memberi
bimbingan dan bantuan pada anak untuk belajar.
6. Evaluasi
belajar. Apakah mengukur keberhasilan ditentukan dengan tes atau nontes.
Orientasi
pengembangan kurikulum diartikan sebagai sebuah arah atau pendekatan yang
memiliki penekanan tertentu pada suatu hal dalam mengembangkan kurikulum baik
bagi para pengembang kurikulum maupun para pelaksana di sekolah. Pengenalan atau orientasi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1)
Orientasi pada bahan pengajaran
Orientasi pada bahan pelajaran yakni
masalah bahan pelajaran sangat di tekankan dan dijadikan pangkal kerja. Secara
umum dapat dikatakan bahwa pendekatan ini mengajarkan materi pelajaran dahulu
dan setelah itu menjabarkannya ke dalam pokok-pokok dan sub-sub pokok bahasan
yang nantinya akan diajarkan kepada siswa.
Pertimbangan-pertimbangan dalam
menentukan bahan-bahan pelajaran didasarkan pada:
a. Penting atau
tidaknya bahan pelajaran tersebut untuk diajarkan di sekolah tertentu.
b. Manfaat dari
bahan tersebut.
c. Kerelevansianya
dengan kebutuhan anak setelah nantinya terjun ke masyarakat.
Pengembangan
kurikulum yang berorientasi pada bahan pelajaran yang dipentingkan adalah apa
materi atau bahan yang disajikan, bukan pada apa tujuannya, sebab tujuan dapat
ditentukan setelah jelas bahan pelajaranya.
Kelebihannya:
Adanya
kebebasan dan keluwesan dalam memilih dan menentukan bahan atau materi
pelajaran yang akan diajarkan sebab tidak ada tujuan-tujuan yang membuatnya
terikat.
Kelemahannya:
Bahan
pelajaran yang disusun kurang jelas arah dan tujuannya. Kurang adanya pegangan
yang pasti untuk menentukan cara atau metode yang cocok untuk dipakai
menyajikan materi tersebut. Kurang jelas segi apa yang harus dinilai pada murid
setelah berakhirnya kegiatan dan bagaimana cara menilainya.
2)
Orientasi pada tujuan
Pendekatan
yang berorientasi pada tujuan ini, menempati rumusan atau penetapan tujuan yang
hendak dicapai dalam posisi sentral, sebab tujuan adalah pemberi arah dalam
pelaksanaan proses belajar mengajar. Seperti tertera pada Hirarki
Tujuan Pendidikan Indonesia terdiri atas:
a.
Tujuan Nasional-Tujuan Pendidikan
Nasional.
b.
Tujuan Institusional-Tujuan
Kurikuler.
c.
Tujuan Instruksional, yang terbagi lagi
menjadi Tujuan Instruksional umum, dan Tujuan Instruksional Khusus.
Masing-masing
tujuan yang ada di bawahnya terkait secara langsung dengan tujuan yang ada di
atasnya. Penyusunan kurikulum dengan orientasi berdasarkan tujuan, artinya
bahwa tujuan pendidikan dicantumkan terlebih dahulu. Tujuan pendidikan di
Indonesia tertera pada GBHN. Atas dasar tujuan-tujuan yang telah ada,
selanjutnya ditetapkan pokok-pokok bahan pelajaran dan kegiatan belajar
mengajar, yang kesemuanya itu diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang
diinginkan. Pengembangan kurikulum yang menganut pendekatan berorientasi pada
tujuan ini mendasarkan diri pada tujuan-tujuan pendidikan yang telah dirumuskan
secara jelas dari tujuan nasional sampai tujuan instruksional. Dalam hal ini kegiatan
pertama adalah merumuskan tujuan-tujuan pendidikan yang akan dilaksanakan dan
dicapai melalui kegiatan belajar mengajar mengajar.
Dalam
pengembangan semacam ini yang menjadi persoalan adalah menentukan tujuan-tujuan
atau harapan apa yang diinginkan dari tercapainya hasil pembelajaran tersebut.
Pengembangan kurikulum yang semacam ini di Indonesia adalah kurikulum 1975.
Berdasarkan tujuan yang dirumuskan tersebut maka disusun atau diterapkanlah
bahan pelajaran yang meliputi pokok-pokok dan sub-sub pokok bahasan sehingga
lebih terarah.
Kelebihannya:
a.
Tujuan yang ingin dicapai sudah
jelas dan tegas, sehingga bahan, metode, jenis-jenis kegiatan juga jelas dalam
menetapkannya. Karena telah ada tujuan-tujuan yang jelas maka memudahkan
penilaian- penilaian untuk mengukur hasil kegiatan.
b.
Hasil penilaian yang terarah akan
mampu membantu para pengembang kurikulum mengadakan perbaikan - perbaikan /
perubahan - perubahan penyesuaian yang diperlukan.
Kekurangannya:
a.
Sulit
b.
Merumuskan, apalagi jika
merumuskan secara operasional setiap kali melaksanakan kegiatan belajar
mengajar.
3)
Orientasi pada keterampilan proses
Dalam
pendekatan ini yang lebih di tekankan adalah masalah kegiatan proses belajar
mengajar apa yang harus dilakukan siswa dan bagaimana cara melakukan proses
harus di pikirkan dan dikembangkan. Keterampilan proses adalah pendekatan
belajar mengajar yang memberi tekanan kepada proses pembentukkan keterampilan
memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan perolehannya. Pendekatan
keterampilan proses diupayakan dilakukan secara efektif dan efesien dalam
mencapai tujuan pelajaran. Titik berat yakni memikirkan, merencanakan, dan
melaksanakan bagaimana, cara dan langkah-langkah agar siswa menguasai
keterampilan serta memahami ilmu pengetahuan.
Pengembangan
kurikulum di Indonesia yang menganut orientasi tersebut adalah kurikulum 1984.
Pendekatan ini menurut keaktifan keduanya, baik guru maupun siswa. guru secara
aktif merencanakan, memilih, menentukan, membimbing, menyerahi kegiatan, sedang
siswa harus terlibat baik secara fisik, mental, maupun emosional, serta mereka
harus menemukan sendiri, mengelola, mempergunakan serta mengkomunikasikan
segala hal yang di temukan dalam proses belajar.
Kelebihan:
a.
Pendekatan lebih mengutamakan siswa
dapat menguasai keterampilan “bagaimana cara belajar” (how learn to learn) daripada hasilnya.
b.
Dapat mempergunakan dan
mengembangkan sendiri keterampilan yang telah didapat. Jadi dengan pendekatan
ini diharapkan siswa akan berlatih mencari, menemukan, dan mengembangkan
sendiri masalah-masalah pengetahuan, dalam hal ini guru harus menciptakan suasana
yang baik dan diperlukan kemampuan untuk bertanya, membuat siswa aktif menjawab
pertanyaan siswa serta mengorganisasi kelas.
Kekurangan:
Mengorganisasi
kelas, sebab dalam hal ini guru dituntut aktif secara dapat membuat siswa ikut
aktif.
2.4 Komponen-komponen Pengembangan Kurikulum
Kurikulum
sebagai suau rancangan dalam pendidikan memiliki posisi yang straegis, karena
seluruh kegiatan pendidikan bermuara kepada kurikulum. Begitu pentingnya
kurikulum sebagaimana sentra kegiatan pendidikan, maka didalam penyusunannya
memerlukan landasan atau pondasi yang kuat, melalui penelitian dan pemikiran
secara mendalam.
Kurikulum sebagai suatu sistem
memiliki komponen-komponen yang saling berkaitan antara satu dengan yang
lainnya, yakni Tujuan, Materi, Strategi Pembelajaran, Organisasi kurikulum dan
Evaluasi. Komponen-komponen ini baik secara sendiri maupun bersama-sama menjadi
dasar utama dalam upaya pengembangan sistem pembelajaran.
2.4.1 Tujuan
Mengingat
pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan
para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam
teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan
sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing.
Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki
esensi yang sama. Seperti yang disampaikan oleh Hummel (Sadulloh, 1994) bahwa tujuan pendidikan secara
universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:
- Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and ability so that they can manage their personal and collective life to the greatest possible extent.
- Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring them an equal basic education.
- Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generation but also guide education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide realization of common destiny.)
Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan
pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa : “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.
Tujuan pendidikan nasional yang
merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam
tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap
jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.
Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007
dikemukakan bahwa tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan
menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.
- Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
- Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
- Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Tujuan pendidikan institusional tersebut kemudian
dijabarkan lagi ke dalam tujuan kurikuler, yaitu tujuan pendidikan yang ingin
dicapai dari setiap mata pelajaran yang dikembangkan di setiap sekolah atau
satuan pendidikan. Lebih jauh lagi, dengan mengutip dari beberapa ahli, (Sukmadinata, 1997) memberikan gambaran
spesifikasi dari tujuan yang ingin dicapai pada tujuan pembelajaran, yakni :
- Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh peserta didik, dengan : (a) menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan perilaku yang dapat diamati; (b) menunjukkan stimulus yang membangkitkan perilaku peserta didik; dan (c) memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat digunakan peserta didik dan orang-orang yang dapat diajak bekerja sama.
- Menunjukkan perilaku yang diharapkan dilakukan oleh peserta didik, dalam bentuk: (a) ketepatan atau ketelitian respons; (b) kecepatan, panjangnya dan frekuensi respons.
- Menggambarkan kondisi-kondisi atau lingkungan yang menunjang perilaku peserta didik berupa : (a) kondisi atau lingkungan fisik; dan (b) kondisi atau lingkungan psikologis.
Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti
yang sangat penting. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran pada tingkat
operasional ini akan menentukan terhadap keberhasilan tujuan pendidikan pada
tingkat berikutnya.
Terlepas dari rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan
tujuan kurikulum sangat terkait erat dengan filsafat yang melandasinya. Jika
kurikulum yang dikembangkan menggunakan dasar filsafat klasik (perenialisme,
essensialisme, eksistensialisme) sebagai pijakan utamanya maka tujuan kurikulum
lebih banyak diarahkan pada pencapaian penguasaan materi dan cenderung
menekankan pada upaya pengembangan aspek intelektual atau aspek kognitif.
Apabila kurikulum yang dikembangkan
menggunakan filsafat progresivisme sebagai pijakan utamanya, maka tujuan
pendidikan lebih diarahkan pada proses pengembangan dan aktualisasi diri
peserta didik dan lebih berorientasi pada upaya pengembangan aspek afektif.
Pengembangan kurikulum dengan
menggunakan filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar utamanya, maka tujuan
pendidikan banyak diarahkan pada upaya pemecahan masalah sosial yang krusial
dan kemampuan bekerja sama. Sementara kurikulum yang dikembangkan dengan
menggunakan dasar filosofi teknologi pendidikan dan teori pendidikan
teknologis, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada pencapaian kompetensi.
Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan
pendidikan dengan tantangan yang sangat kompleks boleh dikatakan hampir tidak
mungkin untuk merumuskan tujuan-tujuan kurikulum dengan hanya berpegang pada
satu filsafat, teori pendidikan atau model kurikulum tertentu secara konsisten
dan konsekuen. Oleh karena itu untuk mengakomodir tantangan dan kebutuhan
pendidikan yang sangat kompleks sering digunakan model eklektik, dengan
mengambil hal-hal yang terbaik dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang
ada, sehingga dalam menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan secara
berkesinambungan.
2.4.2 Materi Pembelajaran
Dalam
menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan
teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa
pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme,
essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal
yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan
sistematis, dalam bentuk:
- Teori; seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan – hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
- Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan, merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
- Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
- Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.
- Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan peserta didik.
- Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
- Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.
- Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau pendapat.
- Definisi:yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis besarnya.
- Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.
Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat
progresivisme lebih memperhatikan tentang kebutuhan, minat, dan kehidupan
peserta didik. Oleh karena itu, materi pembelajaran harus diambil dari dunia
peserta didik dan oleh peserta didik itu sendiri. Materi pembelajaran yang
didasarkan pada filsafat konstruktivisme, materi pembelajaran dikemas
sedemikian rupa dalam bentuk tema-tema dan topik-topik yang diangkat dari
masalah-masalah sosial yang krusial, misalnya tentang ekonomi, sosial bahkan
tentang alam. Materi pembelajaran yang berlandaskan pada teknologi pendidikan
banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa dan
diambil hal-hal yang esensialnya saja untuk mendukung penguasaan suatu
kompetensi. Materi pembelajaran atau kompetensi yang lebih luas dirinci menjadi
bagian-bagian atau sub-sub kompetensi yang lebih kecil dan obyektif.
Dengan melihat pemaparan di atas, tampak bahwa dilihat
dari filsafat yang melandasi pengembangam kurikulum terdapat perbedaan dalam
menentukan materi pembelajaran,. Namun dalam implementasinya sangat sulit untuk
menentukan materi pembelajaran yang beranjak hanya dari satu filsafat
tertentu., maka dalam prakteknya cenderung digunakan secara eklektik dan
fleksibel. Berkenaan dengan penentuan materi pembelajaran dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan, pendidik memiliki wewenang penuh untuk menentukan
materi pembelajaran, sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang
hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Dalam prakteknya untuk
menentukan materi pembelajaran perlu memperhatikan hal-hal berikut :.
- Sahih (valid); dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-benar telah teruji kebenaran dan kesahihannya. Di samping itu, juga materi yang diberikan merupakan materi yang aktual, tidak ketinggalan zaman, dan memberikan kontribusi untuk pemahaman ke depan.
- Tingkat kepentingan; materi yang dipilih benar-benar diperlukan peserta didik. Mengapa dan sejauh mana materi tersebut penting untuk dipelajari.
- Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis maupun non akademis. Manfaat akademis yaitu memberikan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan lebih lanjut. Sedangkan manfaat non akademis dapat mengembangkan kecakapan hidup dan sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
- Layak dipelajari; materi memungkinkan untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat kesulitannya (tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya terhadap pemanfaatan materi dan kondisi setempat.
- Menarik minat; materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotivasi peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa ingin tahu sehingga memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri kemampuan mereka.
Terlepas dari filsafat yang
mendasari pengembangan materi, (Sukmadinata, 1997) mengetengahkan tentang sekuens susunan
materi pembelajaran, yaitu :
- Sekuens kronologis; susunan materi pembelajaran yang mengandung urutan waktu.
- Sekuens kausal; susunan materi pembelajaran yang mengandung hubungan sebab-akibat.
- Sekuens struktural; susunan materi pembelajaran yang mengandung struktur materi.
- Sekuens logis dan psikologis; sekuensi logis merupakan susunan materi pembelajaran dimulai dari bagian menuju pada keseluruhan, dari yang sederhana menuju kepada yang kompleks. Sedangkan sekuens psikologis sebaliknya dari keseluruhan menuju bagian-bagian, dan dari yang kompleks menuju yang sederhana. Menurut sekuens logis materi pembelajaran disusun dari nyata ke abstrak, dari benda ke teori, dari fungsi ke struktur, dari masalah bagaimana ke masalah mengapa.
- Sekuens spiral ; susunan materi pembelajaran yang dipusatkan pada topik atau bahan tertentu yang populer dan sederhana, kemudian dikembangkan, diperdalam dan diperluas dengan bahan yang lebih kompleks.
- Sekuens rangkaian ke belakang; dalam sekuens ini mengajar dimulai dengan langkah akhir dan mundur kebelakang. Contoh pemecahan masalah yang bersifat ilmiah, meliputi 5 langkah sebagai berikut : (a) pembatasan masalah; (b) penyusunan hipotesis; (c) pengumpulan data; (d) pengujian hipotesis; dan (e) interpretasi hasil tes.
- Dalam mengajarnya, guru memulai dengan langkah (a) sampai (d), dan peserta didik diminta untuk membuat interprestasi hasilnya (e). Pada kasempatan lain guru menyajikan data tentang masalah lain dari langkah (a) sampai (c) dan peserta didik diminta untuk mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya.
Sekuens berdasarkan hierarki belajar; prosedur
pembelajaran dimulai menganalisis tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kemudian
dicari suatu hierarki urutan materi pembelajaran untuk mencapai tujuan atau
kompetensi tersebut. Hierarki tersebut menggambarkan urutan perilaku apa yang
mula-mula harus dikuasai peserta didik, berturut-berturut sampai dengan
perilaku terakhir.
2.4.3 Strategi pembelajaran
Telah disampaikan di atas bahwa
dilihat dari filsafat dan teori pendidikan yang melandasi pengembangan
kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan tujuan dan materi pembelajaran,
hal ini tentunya memiliki konsekuensi pula terhadap penentuan strategi pembelajaran
yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan dalam pembelajaran adalah
penguasaan informasi-intelektual, sebagaimana yang banyak dikembangkan oleh
kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya ataupun
keabadian, maka strategi pembelajaran yang dikembangkan akan lebih
berpusat kepada guru. Guru merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran
dan dipandang sebagai pusat informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik
hanya dianggap sebagai obyek yang secara pasif menerima sejumlah informasi dari
guru. Metode dan teknik pembelajaran yang digunakan pada umumnya bersifat
penyajian (ekspositorik) secara massal, seperti ceramah atau seminar. Selain
itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.
Strategi pembelajaran yang
berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi dari kalangan progresivisme.
Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses
pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif
menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya,
sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh
materi dan mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta
didik mendapat dukungan dari kalangan rekonstruktivisme yang menekankan
pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika kelompok.
Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual,
metode dan teknik pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian
dari guru tetapi lebih bersifat individual, langsung, dan memanfaatkan proses
dinamika kelompok (kooperatif), seperti : pembelajaran moduler, obeservasi,
simulasi atau role playing, diskusi, dan sejenisnya.
Dalam hal ini, guru tidak banyak
melakukan intervensi. Peran guru hanya sebagai fasilitator, motivator
dan guider. Sebagai fasilitator, guru berusaha menciptakan dan
menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didiknya. Sebagai
motivator, guru berupaya untuk mendorong dan menstimulasi peserta didiknya agar
dapat melakukan perbuatan belajar. Sedangkan sebagai guider, guru melakukan
pembimbingan dengan berusaha mengenal para peserta didiknya secara personal.
Selanjutnya, dengan munculnya
pembelajaran berbasis teknologi yang menekankan pentingnya penguasaan
kompetensi membawa implikasi tersendiri dalam penentuan strategi pembelajaran.
Meski masih bersifat penguasaan materi atau kompetensi seperti dalam pendekatan
klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologis masih dimungkinkan bagi peserta
didik untuk belajar secara individual. Dalam pembelajaran teknologis
dimungkinkan peserta didik untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru,
seperti melalui internet atau media elektronik lainnya. Peran guru dalam
pembelajaran teknologis lebih cenderung sebagai director of learning,
yang berupaya mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk melakukan
perbuatan-perbuatan belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata
banyak kemungkinan untuk menentukan strategi pembelajaran dan setiap strategi
pembelajaran memiliki kelemahan dan keunggulannya tersendiri.Terkait dengan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, belakangan ini mulai muncul konsep
pembelajaran dengan isitilah PAKEM, yang merupakan akronim dari Pembelajaran
Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Oleh karena itu, dalam
prakteknya seorang guru seyogyanya dapat mengembangkan strategi pembelajaran
secara variatif, menggunakan berbagai strategi yang memungkinkan siswa untuk
dapat melaksanakan proses belajarnya secara aktif, kreatif dan menyenangkan, dengan
efektivitas yang tinggi.
2.4.4 Evaluasi Kurikulum
Evaluasi merupakan salah satu
komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan
untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin
diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh
Wright bahwa : “curriculum evaluation may be defined as the estimation of
growth and progress of students toward objectives or values of the curriculum”
Sedangkan dalam pengertian yang
lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum
secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator kinerja yang
dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi,
efisiensi, kelaikan (feasibility) program. Sementara itu, Hilda Taba
menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi ; “ objective,
it’s scope, the quality of personnel in charger of it, the capacity of
students, the relative importance of various subject, the degree to which
objectives are implemented, the equipment and materials and so on.”
Pada bagian lain, dikatakan bahwa
luas atau tidaknya suatu program evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh
tujuan diadakannya evaluasi kurikulum. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk
mengevaluasi keseluruhan sistem kurikulum atau komponen-komponen tertentu saja
dalam sistem kurikulum tersebut. Salah satu komponen kurikulum penting yang
perlu dievaluasi adalah berkenaan dengan proses dan hasil belajar siswa.
Agar hasil evaluasi kurikulum tetap
bermakna diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Dengan mengutip pemikian
Doll, dikemukakan syarat-syarat evaluasi kurikulum yaitu “acknowledge
presence of value and valuing, orientation to goals, comprehensiveness,
continuity, diagnostics worth and validity and integration.”
Evaluasi kurikulum juga bervariasi,
bergantung pada dimensi-dimensi yang menjadi fokus evaluasi. Salah satu dimensi
yang sering mendapat sorotan adalah dimensi kuantitas dan kualitas. Instrumen
yang digunakan untuk mengevaluasi diemensi kuantitaif berbeda dengan dimensi
kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif,
seperti tes standar, tes prestasi belajar, tes diagnostik dan lain-lain.
Sedangkan, instrumen untuk mengevaluasi dimensi kualitatif dapat digunakan,
questionnare, inventori, interview, catatan anekdot dan sebagainya.
Evaluasi kurikulum memegang peranan
penting, baik untuk penentuan kebijakan pendidikan pada umumnya maupun untuk
pengambilan keputusan dalam kurikulum itu sendiri. Hasil-hasil evaluasi
kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan pendidikan dan para pengembang
kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijakan pengembangan sistem pendidikan
dan pengembangan model kurikulum yang digunakan. Hasil – hasil evaluasi
kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah dan para
pelaksana pendidikan lainnya dalam memahami dan membantu perkembangan peserta
didik, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran,
cara penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya. (MKDK, 2002) mengemukakan tiga
pendekatan dalam evaluasi kurikulum, yaitu : (1) pendekatan penelitian
(analisis komparatif); (2) pendekatan obyektif; dan (3) pendekatan campuran
multivariasi.
Di samping itu, terdapat beberapa
model evaluasi kurikulum, (Depdiknas, 2003) diantaranya adalah Model CIPP (Context,
Input, Process dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa
keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti :
karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang
digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi
model ini bermaksud membandingkan kinerja (performance) dari berbagai dimensi
program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi
dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Model ini
kembangkan oleh Stufflebeam (1972) menggolongkan program pendidikan atas empat
dimensi, yaitu : Context, Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat
dimensi program tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program
pendidikan dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi tersebut
adalah, sebagai berikut :
- Context; yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
- Input; bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan, seperti : dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar, sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan dan sebagainya.
- Process; pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi : pelaksanaan proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh para pengajar, penglolaan program, dan lain-lain.
- Product; keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup : jangka pendek dan jangka lebih panjang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Model merupakan abstraksi dari suatu kenyataan.
Sedangkan pengembangan kurikulum merupakan suatu proses mengembangkan atau
memperbaiki kurikulum guna menyesuaikan dengan zaman atau keadaan dan kondisi
yang berlaku. Model pengembangan kurikulum adalah
model yang digunakan untuk mengembangkan suatu kurikulum, dimana pengembangan
kurikulum dibutuhkan untuk memperbaiki atau menyempurnakan kurikulum yang
dibuat untuk dikembangkan sendiri baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah
atau sekolah. Model pengembangan kurikulum
ini digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi pihak sekolah yang akan
mengembangkan kurikulum tersebut.
Pendekatan
dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang seseorang terhadap suatu
proses tertentu. Istilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya
suatu proses yang sifatnya masih sangat umum. Dengan demikian, pendekatan
pengembangan kurikulum menunjuk pada titik tolak atau sudut pandang secara umum
tentang proses pengembangan kurikulum. Pendekatan adalah cara kerja dengan
menerapkan strategi dan metode yang tepat dengan mengikuti langkah-langkah
pengembangan yang sistematis agar memperoleh kurikulum yang lebih baik. Pendekatan ini digunakan sebagai pelengkap dalam
melakukan proses pengembangan kurilum. Pendekatan dapat juga dikatakan sebagai
langkah praktis dari suatu model.
Orientasi pengembangan kurikulum
diartikan sebagai sebuah arah atau pendekatan yang memiliki penekanan tertentu
pada suatu hal dalam mengembangkan kurikulum baik bagi para pengembang
kurikulum maupun para pelaksana di sekolah.Orientasi merupakan langkah pertama untuk melakukan
pengembangan kurikulum. Karena tanpa orientasi sebuah kurikulum maka tidak akan
terlaksana kegiatan pengembangan kurikulum.
Adapun isi atau komponen-komponen
kurikulum yang sering dijadikan sebagai ruang lingkup pengembangan kurikulum
yaitu 1) tujuan pembelajaran, 2) materi pembelajaran, 3) strategi pembelajaran,
dan 4) organisasi kurikulum. Keempat komponen tersebut merupakan satu kesatuan
dalam sebuah system yang apabila salah satu mengalami pengembangan komponen
yang lain akan mengikuti.
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa model, pendekatan, orientasi dan komponen kurikulum mempunyai
keterkaitan satu sama lain. Modle merupakan langkah pertama yang harus
diketahui untuk melakukan pengembangna kurikulum kemudian dituangkan dalam
pendekatan yang merupakan langkah praktis atau langkah nyata, serta melakukan
orientasi terhadap kurikulum serta mengenai komponen-komponen apa saja yang
akan dilakukan pengembangan kurikulum tersebut.
3.2 Saran
Dalam
pengembangan kurikulum yang akan dilakukan oleh sebuah lembaga atau sekolah
harus mempertimbangkan dalam penetapan model dan pendekatan yang akan digunakan,
karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap hasil analisis pengembangan
kurikulum. Kemudian melakukan orientasi terhadap sasaran yang tepat dalam
mengenali komponen-komponen kurikulum.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. (2012). Dasar-Dasar
Pengembangan Kurikulum. Bandung: Rajawali Press.
Beauchamp, B. A. (1975). Curriculum Theory. Wil
Mette, Illinois: Kegg. Press.
Depdiknas. (2003). Standar Kompetensi Bahan Kajian;
Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur
Balitbang.
Hamalik, O. (2008). Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Idi, A. (2007). Pengembangan Kurikulum: Teori dan
Praktik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Johnson, M. (1977). Intentionality in Education. New
York: Center for Curriculum Research and Service.
Makin, B. d. (2007). Pendidikan Humanistik: Konsep,
Teori, dan Aplikasi Praktis dalam Dunia Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
MKDK, T. P. (2002). Kurikulum dan Pembelajaran.
Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan
UPI.
Nadler, L. (1988). Designing Training Programs: The
Critical Event Model. Philippines: Addison Wesley Publishing Company.
Nasution, S. (2010). Kurikulum dan Pengajaran.
Jakarta: Bumi Aksara.
Oliva, P. F. (1992). Developing Curriculum. New
York: Harper Collin Publisher.
Pembelajaran, T. P. (2002). Kurikulum dan Pembelajaran.
Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan.
Sadulloh, U. (1994). Pengantar Filsafat Pendidikan.
Bandung: PT. Media Iptek.
Seller, M. d. (1985). Curriculum Perspective and
Practice. New York: Longman.
Sukamdinata, N. S. (2004). Pengembangan Kurikulum: Teori
dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sukmadinata. (1997). Pengembangan Kurikulum: Teori dan
Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sukmadinata, N. S. (1997). Teori dan Praktek
Pengembangan Kurikum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Travers, R. R. (1990). Foundation of Education Becoming
a Teacher Englewood Cliffs. New Jersey: Prentice Hall.
Tyler, R. W. (1975). Basic Principles of Curriculum and
Instruction. Chicago: The University of Chicago Press.
GOOD
ReplyDelete