Hari ini, aku kembali
mengenang masa silam dengannya. Meragukan ketika aku katakan aku sudah
mengikhlaskannya. Aku katakan ragu karena yang aku tahu definisi ikhlas itu adalah menerima. Menerima dengan sepenuh hati
tanpa mengungkit, tanpa mempermasalahkan lagi. Nyatanya sampai saat ini luka
itu masih terasa. Jelas, ini sangat bermasalah. Ini tingkatan hati. Yang sulit
untuk memulihkannya lagi. Entah ini hanya perasaan wajar atau perasaan yang
kurang ajar? Menyeretku dalam kegelapan hingga aku tak menemukan sebuah jalan. Bersikeras
berdiri. Tertatih. Mencoba berjalan dengan beralaskan kesabaran. Sampai kapan
aku berada dalam ruang nostalgia ini? Sampai hatiku mati? Atau sampai kau mati?
Itu terlalu kejam!
Hati ini masih bisa diajak
kerjasama sama kok. Setidaknya aku masih bisa mengendalikannya. Kalau boleh aku
minta aku ingin melihat wajahmu. Menampar wajahmu yang polos sepertinya
menyenangkan. Tapi sayang, aku tidak sepicik itu. Biarlah! Aku saja yang
merasakan kekacauan hati ini. Kamu? Tidak akan sanggup membereskannya.
Ada pelajaran yang aku
ambil dari sebuah postingan di instagram. Setidaknya postingan itu sedikit
membuat hatiku merasa tenang. Kurang lebihnya seperti ini “ketika pada akhirnya
kita tidak bersama dengan seseorang yang selalu kita sebut namanya dalam doa
kita mungkin saja Allah akan membersamakan kita dengan seseorang yang diam-diam
selalu menyebut nama kita di dalam doanya”. Sederhana, tapi menyentuh. karena
belum tentu yang kita anggap baik, yang kita ekspektasikan terbaik untuk kita memang
yang terbaik untuk kita. Bisa saja yang kita anggap buruk, yang kita sangka itu
tidak baik untuk kita justru malah sesuatu yang baik dan terbaik untukku. Kita hanya
perlu menerima dan menjalaninya dengan syukur. Walau perasaan perih selalu datang
tiba-tiba. Anggap saja itu sebuah ujian untuk menaikkan level kesabaran kita.
No comments:
Post a Comment