Wednesday, May 3, 2017

MODEL, PENDEKATAN, DAN ORIENTASI PENGEMBANGAN KURIKULUM, SERTA KOMPONEN-KOMPONEN KURIKULUM

MODEL, PENDEKATAN, DAN ORIENTASI PENGEMBANGAN KURIKULUM, SERTA KOMPONEN-KOMPONEN KURIKULUM

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok
Mata Kuliah Telaah Kurikulum dan Perencanaa Pembelajaran Manajemen Perkantoran


Oleh
Kelompok 2
Febia Putri Kurniawan
1401881
Gina Mirta Wahyuni
1407224
Jajang Ikbal Herlianto
1404720
Wesih Malia
1404674
                                                             



JURUSAN PENDIDIKAN MANAJEMEN PERKANTORAN
FAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2016

KATA PENGANTAR

               
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tugan Yang Maha Kuasa, atas limpahan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Menganalisis Model, Pendekatan dan Orientasi Pengembangan Kurikulum serta Komponen-Komponen Kurikulum.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan di masaakan datang.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan penulis selaku penyusun dan bagi pembaca penulis minta maaf jika terjadi kesalahan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih.




Bandung, 11 September 2016


Penulis,


DAFTAR ISI





BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Interaksi antara guru dan siswa dalam upaya membantu siswa menguasai tujuan-tujuan pendidikan merupakan inti dari pendidikan itu sendiri.Interaksi pendidikan berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.Dalam lingkungan keluarga, interaksi pendidikan terjadi antara antara orang tua dan anak.Interaksi dalam lingkungan keluarga ini berjalan tanpa rencana tertulis. Orang tua sering tidak mempunyai rencana yang jelas dan rinci ke mana anaknya akandiarahkan.
Interaksi dalam lingkungan sekolah lebih bersifat formal. Guru sebagaipendidik di sekolah merupakan tenaga ahli yang telah dihasilkan oleh lembaga pendidikan guru. Sehingga, guru memiliki ilmu, keterampilan, maupun berbagai kompetensi untuk mendidik siswa. Guru melaksanakantugasnya sebagai pendidik dengan rencana yang dan persiapan yang matang. Para guru mengajar denga tujuan yang jelas, bahan-bahan yang telah disusun secara sistematis dan rinci, dengan metode maupun media yang telah dipilih dan dirancang secara cermat.
Interaksi dalam lingkungan masyarakat terjadi dalam berbagai bentuk interaksi pendidikan, dari yang sangat formal yang mirip dengan pendidikan di sekolah dalam bentuk bimbingan belajar maupun kursus-kursus sampai dengan yang kurang formal seperti ceramah, sarasehan, dan pergaulan kerja.Gurunya juga bervariasi dari yang memiliki latar belakang pendidikan khusus sebagai guru, sampai dengan yang melaksanakan tugas sebagai pendidik karena pengalaman.Kurikulumnya pun bervariasi, dari yang memiliki kurikulum formal dan tertulis sampai dengan rencana pembelajaran yang hanya ada pada pikiran penceramah.Moderator sarasehan atau gagasan keteladana yang ada pada pemimpin (Sukmadinata, 1997).
Dari uraian tersabut maka dapat diambil kesimpulan bahwa rancangan pendidikan atau kurikulum yang tersusun secara sistematis, jelas, dan rinci dimiliki oleh pendidikan formal atau sekolah.Kurikulum ini dilaksanakan secara formal, terencana, ada yang mengawasi dan menilai.Para pelaksana kurikulum pun merupakan tenaga profesional yang memiliki kompetensi di bidang pendidikan.
Kurikulum mempunyai kedudukan yang sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan.Menurut Mauritz Johnson (1977) kurikulum “prescribes (or at least anticipates) the result of instruction”, kurikulum menentukan atau setidaknya mempengaruhi hasil pengajaran. Kurikulum juga merupakan suatu rencana pendidikan, memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup, dan urutan isi, serta proses pendidikan. Selain itu, kurikulum juga merupakan suatu bidang studi yang ditekuni oleh para ahli atau spesialis kurikulum, yang menjadi sumber konsep-konsep atau memberikan landasan-landasan teoritis bagi pengembangan kurikulum sebagai institusi pendidikan  (Johnson, 1977, p. 130).
Kelas merupakan tempat untuk melaksanakan dan menguji kurikulum. Di dalam kelas inilah konsep, prinsip, pengetahuan, metode dan kemampuan guru diuji dalam bentuk perbuatan, yang akan mewujudkan bentuk kurikulum yang nyata dan hidup. Guru sebagai pemegang kunci pelaksanaan dan keberhasilan kurikulum harus mampu merencanakan, melaksanakan, menilai dan mengembangkan kurikulum. Dalam mengembangkan suatu kurikulum banyak pihak yang turut berpartisipasi.Banyak model pengembangan kurikulum yang dapat digunakan.Dalam memilih suatu model bukan saja didasarkan pada kelebihan atau kebaikan-kebaikannya serta kemungkinan pencapaian hasil yang optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan yang dianut.

1.2  Rumusan Masalah

Rumusan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut
1.      Bagaimana model-model dalam pengembangan kurikulum?
2.      Bagaimana pendekatan yang digunakan dalam pengembangan kurikulum?
3.      Bagaimana proses orientasi dalam pengembangan kurikulum?
4.      Apa saja komponen-komponen kurikulum?

1.3  Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.         Untuk mengetahui model-model dalam pengembangan kurikulum.
2.         Untuk mengetahui pendekatan yang digunakan dalam pengembangan kurikulum.
3.         Untuk mengetahui proses orientasi dalam pengembangan kurikulum.
4.         Untuk mengetahui komponen-komponen kurikulum.

1.4  Manfaat Penulisa

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang model, pendekatan dan orientasi pengembangan kurikulum serta komponen-komponen apa saja yang terdapat dalam sebuah kurikulum.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Model Pengembangan Kurikulum

Menurut Good (1972) dan Travers (1973) model adalah abstraksi dunia nyata atau representasi peristiwa kompleks atau sistem, dalam bentuk naratif, matematis, grafis, serta lambang-lambang lainnya(Travers, 1990). Model bukanlah realitas, akan tetapi merupakan representasi realitas yang dikembangkan dari keadaan. Dengan demikian, model pada dasarnya berkaitan dengan rancangan yang dapat digunakan untuk menerjemahkan sesuatu sarana untuk mempermudah berkomunikasi, atau sebagai petunjuk yang bersifat perspektif untuk mengambil keputusan, atau sebagai petunjuk perencanaan untuk kegiatan pengelolaan.
Model atau konstruksi merupakan ulasan teoritis tentang suatu konsepsi dasar (Abidin, 2012, p. 137)Dalam pengembangan kurikulum, model dapat merupakan ulasan teoritis tentang suatu proses kurikulum secara menyeluruh atau dapat pula merupakan ulasan tentang salah satu bagian kurikulum. Sedangkan menurut (Kamus Besar Bahasa Indonesia) model adalah pola, contoh, acuan, ragam dari sesuatu yang akan dihasilkan. Dikaitkan dengan model pengembangan kurikulum berarti merupakan suatu pola, contoh dari suatu bentuk kurikulum yang akan menjadi acuan pelaksanaan pendidikan/pembelajaran.
Sedangkan pengembangan kurikulum (curriculum development) merupakan suatu istilah yang komprehensif di dalamnya mencakup perencanaan, penerapan, dan penilaian.Karena pengembangan kurikulum memiliki implikasi terhadap adanya perubahan dan perbaikan maka istilah pengembangan kurikulum terkadang juga disamakan dengan istilah perbaikan kurikulum (curriculum improvement). Meskipun pada banyak kasus sebenarnya perbaikan itu merupakan akibat dari adanya pengembangan (Oliva, 1992, p. 26)
Model pengembangan kurikulum adalah model yang digunakan untuk mengembangkan suatu kurikulum, dimana pengembangan kurikulum dibutuhkan untuk memperbaiki atau menyempurnakan kurikulum yang dibuat untuk dikembangkan sendiri baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah atau sekolah.
Nadler (1988) menjelaskan bahwa model yang baik adalah model yang dapat menolong si pengguna untuk mengerti dan memahami suatu proses secara mendasar dan menyeluruh. Selanjutnya ia menjelaskan manfaat model adalah model dapat menjelaskan beberapa aspek perilaku dan interaksi manusia, model dapat mengintegrasikan seluruh pengetahuan hasil observasi dan penelitian, model dapat menyederhanakan suatu proses yang bersifat kompleks, dan model dapat digunakan sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan.
Untuk melakukan pengembangan kurikulum ada berbagai model pengembangan kurikulum yang dapat dijadikan acuan atau diterapkan sepenuhnya. Secara umum, pemilihan model pengembangan kurikulum dilakukan dengan cara menyesuaikan sistem pendidikan yang dianut dan model konsep yang digunakan. Dibawah ini akan dibahas beberapa model pengembangan kurikulum yang biasa di gunakan di Indonesia.

2.1.1                    Model Ralph Tyler

Model pengembangan kurikulum Tyler mengacu pada empat pertanyaan dasar yang harus dijawab, dimana pertanyaan tersebut merupakan pilar-pilar bangunan kurikulum. Proses pengembangan kurikulum dan pembelajaran pada dasarnya adalah proses menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut membentuk hasil berupa kurikulum. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah :
1)      Tujuan pendidikan apa yang harus dicapai oleh sekolah?
2)      Pengalaman-pengalaman pendidikan apakah yang semestinya diberikan untuk mencapai tujuan pendidikan?
3)      Bagaimanakah pengalaman-pengalaman pendidikan sebaiknya diorganisasikan?
4)      Bagaimanakah menentukan bahwa tujuan telah tercapai?
Dengan demikian, model pengembangan kurikulum Tyler memiliki 4 tahap.Dalam prosesnya, pengembangan kurikulum secara makro dengan model ini harus melibatkan berbagai pihak seperti Perguruan Tinggi dan masyarakat yang terdiri dari pada ahli, bidang studi, kurikulum, pendidikan, psikologi, dan perkembangan anak dan bidang lainnya yang terkait.
Gambar 1.1 : Model Pengembangan Kurikulum Tyler
Tahap-tahap tersebut harus dilakukan yaitu meliputi :
a)      Menentukan Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan merupakan arah atau sasaran akhir yang harus dicapai dalam program pendidikan dan pembelajaran.Penetapan tujuan adalah langkah pertama. Dalam tujuan ini harus menggambarkan arah pendidikan yang akan dituju, jenis kemampuan apa yang harus dimiliki siswa setelah proses pendidikan berakhir.
Rumusan tujuan kurikulum ini sangat tergantung pada teori dan filsafat pendidikan yang dianut oleh pengembangnya, berdasarkan berbagai masukan.Dalam pandangan Tyler ada tiga klasifikasi karakteristik tujuan kurikulum yaitu tujuan kurikulum yang menakankan pada penguasaan konsep dan teori ilmu pengetahuan (discipline oriented).Tujuan kurikulum yang menekankan pada pengembangan pribadi atau model humanistic (child centered). Tujuan kurikulum yang menekankan pada upaya perbaikan kehidupan masyarakat (society centered).
Dengan merujuk pada tujuan kurikulum diatas, maka terdapat tiga aspek yang harus dipertimbangkan dalam penentuan tujuan pendidikan menurut Tyler, yaitu: 1) hakikat peserta didik, 2) kehidupan masyarakat masa kiki, dan 3) pandangan para ahli bidang studi.
Ada lima factor yang menjadi arah penentuan tujuan pendidikan, yaitu pengembangan kemampuan berpikir, membantu memperoleh informasi, pengembangan sikap kemasyarakatan, pengembangan minat peserta didik, dan pengembangan sikap social.
b)      Menentukan Proses Pembelajaran
Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam penentuan proses pembelajaran adalah persepsi dan latar belakang kemampuan peserta didik. Pengalaman peserta didik akan sangat membantu dalam terwujudnya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam proses pembelajaran akan terjadi interaksi antara peserta didik dengan lingkungan pendidikan atau sumber belajar, yang tujuannya untuk membentuk sikap, pengetahuan dan keterampilan sehingga muncul perilaku yang utuh.
c)      Menentukan Organisasi Pengalaman Belajar
Pengalaman belajar sangat dipengaruhi oleh tahapan-tahapan dan isi atau materi belajar. Tahapan-tahapan belajar yang tersusus dengan rapi akan sangat membantu terwujudnya tujuan pembelajaran. Kejelasan materi dan proses pembelajaran akan memberikan gambaran mengenai jenis evaluasi yang akhirnya dapat digunakan. 
d)     Menentukan Evaluasi Belajar
Menentukan evaluasi belajar yang cocok merupakan tahap akhir dalam model Tyler. Dalam menentukan evalusi belajar hendaknya mengacu pada tujuan pembelajaran, materi pembelajaran serta proses pembelajaran yang telah ditentukan sebelumnya. Selain itu, hendaknya merujuk pula pada prinsip-prinsip evaluasi yang ada. (Tyler, 1975)

2.1.2                    Model Administratif

Pengembangan kurikulum ini disebut juga dengan istilah dari atas ke bawah (top down) atau staff lini (line-staff procedure), artinya dalam pengembangan kurikulum ini terdapat beberapa tahapan secara prosedural yang harus ditempuh dengan dibantu oleh beberapa tim tertentu.
Langkah pertama adalah pembentukan ide awal yang dilaksanakan oleh para pejabat tingkat atas, yang membuat keputusan dan kebijakan berkaitan dengan pengembangagn kurikulum. Tim ini sekaligus sebagai tim pengarah dalam pengembangan kurikulum.
Langkah kedua adalah membentuk suatu tim panitia pelaksana atau komisi untuk mengembangkan kurikulum yang didukung oleh beberapa anggota yang terdiri dari para ahli, yaitu: ahli pendidikan, kurikulum, disiplin imu, tokoh masyarakat, tim
pelaksana pendidikan, dan pihak dunia kerja. Tim ini bertugas untuk mengembangkan konsep-konsep umum, landasan, rujukan, maupun strategi pengembangan kurikulum yang selanjutnya menyusun kurikulum secara opersional berkaitan dengan pengembangan atau perumusan tujuan pendidikan maupun pembelajaran, pemilihan dan penyusunan rambu-rambu dan substansi materi pembelajaran, menyusun alternatif proses pembelajaran, dan menentukan penilaian pembelajaran.
Langkah ketiga, kurikulum yang sudah selesai disusun kemudia diajukan untuk diperiksa dan diperbaiki oleh tim pengarah. Tim ini melakukan penyesuaian antara aspek-aspek kurikulum secara terkoordinasi dan menyiapkan secara sistem dalam rangka uji coba maupun dalam rangka sosialisasi dan penyebarluasan (desiminasi).Setelah perbaikan dan penyempurnaan, kurikulum tersebut perlu diujicobakan secara nyata di beberapa sekolah yang diangga representatif.Pelaksana uji coba adalah tenaga professional yang tidak dilibatkan dalam penyusunan kurikulum.
Supaya uji coba tersebut menghasilkan masukan yang efektif maka diperlukan kegiatan monitoring dan evaluasi yang fungsinya untuk memperbaiki atau menyempurnakan berdasarkan pelaksanaan di lapangan.Kelemahan dari model administratif adalah kurikulum ini bentuknya seragam dan bersifat sentralistik, sehingga kurang sesuai jika diterapkan dalam dunia pendidikan yang menganut asas desentralisasi.Selain dari pada iti, kurikulum ini kurang tanggap terhadap perubahan nyata yang dihadapi para pelaksana kurikulum di lapangan (Pembelajaran, 2002).

2.1.3                    Model Grass Roots

Pengembangna kurikulum model ini adalah kebalikan dari model administratif.Model Grass Roots adalah model pengembangan kurikulum yang dimulai dari bawah. Dalam prosesnya pengembangan kurikulum ini diawali atau dimulai dari gagasan dan ide guru-guru sebagai tim pengajar. Model ini lebih demokratis karena digagas sendiri oleh pelaksana di lapangan, sehingga perbaikn bisa dimulai dari unit yang paling terkecil dan spesifik hingga ke yang lebih besar.
Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatian dalam menerapkan model pengembangan grass roots ini, yaitu:
a)      Guru harus memiliki kemampuan yang professional,
b)      Guru harus terlibat penuh dalam perbaikan kurikulum dan penyelesaian masalah kurikulum,
c)      Guru harus terlibat langsung dalam perumusan tujuan, pemilihan bahan, dan penentuan evalusi,
d)     Seringnya pertemuan kelompok dalam pembahasan kurikulum yang akan berdampak terhadap pemaham guru dan akan menghasilkan konsesus tujuan, prinsip, maupun rencana-rencana.
Model pengambangan kurikulum ini dapat dikembangakan pada lingkup luas maupun dalam lingkup yang sempit.Dapat berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi dapat pula digunakan untuk beberapa bidang studi maupun pada beberapa sekolah yang lebih luas.dalam prosesnya, guru-guru harus mampu melakukan kerja operasional dalam pengembangan kurikulum secara kooperatif sehingga dapat menghasilkan suatu kurikulum yang sistemik.
Oleh karena itu pengembangan kurikulum model ini sangat membutuhkan dukungan moril maupun materil yang bersifat kondusif dari pihak pimpinan. Ada beberapa hal yang harus diantisipasi dalam model ini, di antaranya adalah akan bervariasinya sistem kurikulum di sekolah karena menerapkan partisipasi sekolah dan masyarakat secara demokratis. Sehingga apabila tidak terkontrol (tidak ada kendali mutu), maka cenderung banyak mengabaikan kebijakan pusat.

2.1.4                    Model Demostrasi

Model pengembangan kurikulum idenya datang dari bawah (grass roots).Semula merupakan suatu upaya inovasi kurikulum dalam skal kecil yang selanjutnya digunakan dalam skala yang lebih luas, tetapi dalam prosesnya sering mendapat tantangan atau ketidaksetujuan dari pihak-pihak tertentu.Menurut Smith, Stanley, dan Shores, ada dua bentuk mpdel pengembangan ini.
Pertama, sekelompok guru dari satu sekolah atau beberapa sekolah yang diorganisasi dan ditunjuk untuk melaksanakan suatu uji coba atau eksperimen suatu kurikulum.Unit-unit ini melakukan suatu proyek melalui kegiatan penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan suatu model kurikulum.Hasil dari kegiatan penelitian dan pengembangan ini diharapkan dapt digunakan pada lingkungan sekolah yang lebih luas.pengembangan model ini biasanya diprakarsai oleh pihak Departemen Pendidikan dan dilaksanakan oleh kelompok guru dalam rangka inovasi dan perbaikan suatu kurikulum.
Kedua, dari beberapa orang guru yang merasa kurang puas tentang kurikulum yang sudah ada, kemudian mereka mengadakan eksperimen, uji coba dan mengadakan pengembangan secara mandiri. Pada dasarnya guru-guru tersebut mencobakan yang dianggap belum ada, dan merupakan suatu inovasi terhadap kurikulum, sehingga berbeda dengan pengembangan yang berlaku, dengan harapan akan ditemukan pengembangan kurikulum yang lebih baik dari yang ada.
Ada beberapa kebaikan dalam penerapan model pengembangan ini, diantaranya adalah:
a)      Kurikulum ini lebih nyata dan praktis karena dihasilkan melalui proses yang telah diuji dan diteliti secara ilmiah,
b)      Perubahan kurikulum dalam skala kecil atau pada aspek yang lebih khusus kemungkinan kecil akan ditolak oleh pihak administrator, akan berbeda dengan perubahan kurikulum yang sangat luas dan kompleks,
c)      Hakekat model demonstrasi berskala kecil akan terhindar dari kesenjangan dokumen dan pelaksanaan di lapangan,
d)     Model ini akan menggerakkan inisiatif, kreatifitas guru-guru serta memberdayakan sumber-sumber administrasi untuk memenuhi kebutuhan dan minat guru dalam mengembangkan program baru.

2.1.5                    Model Miller-Seller

Pengembangan kurikulum ini ada perbedaan dengan model-model sebelumnya.model pengembangan kurikulum Miller-Seller merupakan pengembangan kurikulum kombinasi dari model transmisi (Gagne) dan model transaksi (Taba’s & Robinson), dengan tahapan pengembangan sebagai berikut:
a)      Klarifikasi Orientasi Kurikulum
Orientasi ini merefleksikan pandangan filosofis, psikologos, dan sosiologis terhadap kurikulum yang seharusnya dikembangkan.Menurut Miller dan Seller, ada tiga jenis orientasi kurikulum yaitu tranmisi, transaksi, dan transformasi.
b)      Pengembangan Tujuan Langkah
selanjutnya adalah mengembangkan tujaun umum dan tujuan khusus berdasarkan orientasi kurikulum yang bersangkutan. Tujuan umum dalam konteks ini adalah merefleksikan pandangan orang (image person) dan pandangan (image)kemasyarakatan.Tujuan pengembangan merupakan tujuan yang masih relative umum.Oleh karena itu, perlu dikembangkan tujuan-tujuan yang lebih khusus hingga pada tujuan instruksional.
c)      Identifikasi Model Mengajar
Pada tahap ini pelaksana kurikulum harus mengidentifikasi strategi mengajar yang akan digunakan yang disesuaikan dengan tujuan dan orientasi kurikulum. Ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam menentukan model mengajar yang akan digunakan, yaitu:
1)      Disesuaikan dengan tujuan umum maupun tujuan khusus.
2)      Strukturnya harus sesuai dengan kebutuhan siswa.
3)      Guru yang menerapkan kurikulum ini harus sudah memahami secara utuh, sudah dilatih, dan mendukung model.
4)      Tersedia sumber-sumber yang esensial dalam pengembangan model.

d)     Implementasi
Implementasi sebaiknya dilaksanakan dengan memperhatikan komponenkomponen program studi, identifikasi sumber, pernana, pengembangan professional, penetapan waktu, komunikasi, dan sistem monitoring. Langkah ini merupakan langkah akhir dalam pengembangan kurikulum. Prosedur orientasi yang dibakukan pada umumnya tidak sesuai dengan kurikulum transformasi, sebaliknya kurikulum transmisi pada umumnya menggunakan teknik-teknik evaluasi berstruktur dalam menilai kesesuaian antara pengelaman-pengalaman, strategi be;ajar dan tujuan pendidikan (Seller, 1985).

2.1.6                    Model Taba (Inverted Model)

Model Taba merupakan modifikasi model Tyler. Modifikasi tersebut penekanannya terutama pada pemusatan perhatian guru. Menurut Taba, guru harus penuh aktif dalam pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum yang dilakukan guru dan memposisikan guru sebagai innovator dalam pengembang kurikulum merupakan karakteristik dalam model pengembangan Taba.Dalam pengembangannya, model ini lebih bersifat induktif, berbeda dengan model tradisional yang deduktif.
Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
a)      Mengadakan unit-unit eksperimen bersama dengan guru-guru.
Dalam kegitaan ini perlu mempersiapkan (1) perencanaan berdasarkan pada teori-teori yang kuat, (2) eksperimen harus dilakukan di dalam kelas agar menghasilkan data empiric dan teruji.
b)      Menguji unit eksperimen.
Unit yang dihasilkan pada langkah pertama diujicobakan di kelas-kelas eksperimen pada berbagai situasi dan kondisi belajar.Pengujian dilakukan untuk mengetahui tingkat validitas dan kepraktisan sehingga dapat menghimpun data untuk penyempurnaan.
c)      Mengadakan revisi dan konsolidasi
Perbaikan dan penyempurnaan dilakukan berdasarkan data yang dihimpun sebelumnya.selain perbaikan dan penyempurnaan, dilakukan juga konsolidasi, yaitu penarikan kesimpulan pada hal-hal yang bersifat umum dan konsisten teori yang digunakan. 
d)     Pengembangan keseluruhan kurikulum (developing’ a framework).
Langkah ini merupakan tahap pengkajian kurikulum yang telah direvisi.
e)      Implementasi dan desiminasi.
Dalam tahap ini dilakukan penerapan dan penyebarluasan program ke daerah dan sekolah-sekolah, dan dilakukan pendataan tentang kesulitan serta permasalaham yang dihadapi guru-guru di lapangan.Oleh karena itu perlu diperhatikan tentang persiapan di lapangan yang berkaitan dengan aspek-aspek penerapan kurikulum.

2.1.7                    Model Beauchamp

Model ini dikembangakan oleh George A. Beuchamp, seorang ahli kurikulum. Menurut Beauchamp, proses pengembangan kurikulum meliputi lima tahap yaitu:
a)      Menentukan area atau wilayah akan dicakup oleh kurikulum
Penentuan tahap ini ditentukan pemegang wewenang yang dimiliki pengambil kebijakan dibidang kurikulum.
b)      Menetapkan personalia
Tahap ini menentukan siapa saja orang yang akan terlibat dalam pengembangan kurikulum. Ada empat kategori orang yang sebaiknya dilibatkan, yaitu: para ahli pendidikan atau kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kurikulum dan ahli bidang studi; para ahli pendididkan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru terpilih; para professional dalam bidang pendidikan; professional lain dan tokoh masyarakat.
c)      Organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum
Langkah ini berkenaan dengan prosedur dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus, memilih isi dan pengalaman belajar, serta kegiatan evaluasi, juga dalam menentukan desain kurikulum secara keseluruhan.
d)     Implementasi kurikulum
Tahap ini yaitu pelaksanaan kurikulum yang telah dikembangkan oleh tim pengembang. Dalam pelaksanaan kurikulum dibutuhkan kesiapan guru, siswa, fasilitas, biaya, manajerial dan kepemimpinan sekolah.
e)      Evaluasi kurikulum
Hal-hal penting yang dievaluasi yaitu: pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru, desain kurikulumnya, hasil belajar siswa, keseluruhan dari sistem kurikulum(Beauchamp, 1975).

2.2  Pendekatan-Pendekatan Pengembangan Kurikulum

Pendekatan adalah cara kerja dengan menerapkan strategi dan metode yang tepat dengan mengikuti langkah-langkah pengembangan yang sistematis agar memperoleh kurikulum yang lebih baik.(Idi, 2007, hal. 199)
Ada beberapa pendekatan dalam pengembangan kurikulum diantaranya sebagai berikut: (Idi, 2007, hal. 200-203)
1.      Pendekatan Bidang Studi
2.      Pendekatan Berorientasi pada Tujuan
3.      Pendekatan dengan Pola Organisasi Bahan
4.      Pendekatan Rekonstruksionalisme
5.      Pendekatan Humanistik
6.      Pendekatan Akuntabilitas
Untuk memahami pendekatan tersebut, berikut penjelasannya.

2.2.1                    Pendekatan Bidang Studi (pendekatan subjek atau disiplin ilmu)

Pendekatan ini menggunakan bidang studi atau mata pelajaran sebagai dasar organisasi kurikulum, misalnya matematika, sains, sejarah, geografi, atau IPA, IPS, dan sebagainya seperti yang lazim kita dapati dalam sistem pendidikan kita sekarang di semua sekolah dan universitas.
Pengembangan dimulai dengan mengidentifikasi secara teliti pokok-pokok bahasan yang akan dibahas, kemudian pokok-pokok bahasan tersebut diperinci menjadi bahan-bahan pelajaran yang harus dikuasai, dan akhirnya mengidentifikasi dan mengurutkan pengalaman belajar dan ketrampilan-keterampilan prerequisite yang harus dilakukan oleh anak didik.
Prioritas pendekatan ini adalah mengutamakan sifat perencanaan program dan juga mengutamakan penguasaan bahan dan proses dalam disiplin ilmu tertentu. Karena setiap ilmu pengetahuan memiliki sistematisasi tertentu dan berbeda dengan sistematisasi ilmu lainnya. Pengembagan kurikulum subyek akademik dilakukan dengan cara menetapkan terlebih dahulu mata pelajaran apa yang harus dipelajari peserta didik, yang diperlukan untuk (persiapan) pengembangan disiplin ilmu.
Dari pendekatan subjek akademik ini diharapkan agar peserta didik dapat menguasai semua pengetahuan yang ada di kurikulum tersebut. Karena kurikulum sangat mengutamakan pengetahuan maka pendidikan lebih bersifat intelektual. Kurikulum subjek akademik tidak berarti hanya menekankan pada materi yang disampaikan, dalam perkembangannya secara berangsur-angsur memperhatikan proses belajar yang dilakukan siswa. Proses belajar yang dipilih sangat bergantung pada hal apa yang terpenting dalam materi tersebut.
Dalam pendekatan pengembangan kurikulum ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Tujuan
Tujuan kurikulum subjek akademik adalah pemberian pengetahuan yang solid serta melatih para siswa menggunakan ide-ide dan proses “penelitian”. Para siswa harus belajar mengunakan pemikiran dan dapat mengontrol dorongan-dorongannya, sehingga diharapkan siswa mempunyai konsep dan cara yang terus dapat dikembangkan di masyarakat yang lebih luas.
2.      Metode
Metode yang banyak digunakan dalam pendekata subjek akademik adalah pendekatan metode ekspositori dan inkuiri. Ide-ide diberikan guru kemudian dielaborasi (dilaksanakan) siswa sampai mereka kuasai.Dalam materi disiplin ilmu yang diperoleh, dicari berbagai masalah penting, kemudian dirumuskan dan dicari cara pemecahannya.
3.      Organisasi isi
Ada beberapa pola organisasi isi (materi pelajaran) kurikulum subyek akademik. Pola-pola organisasi yang terpenting di antaranya:
1.      Correlated curriculum, adalah pola organisasi materi atau konsep yang dipelajari dalam suatu pelajari dalam suatu pelajaran dikorelasikan dengan pelajaran lainnya.
2.      Unified atau Concentrated, adalah pola organisasi bahan pelajaran tersusun dalam tema-tema pelajaran tertentu, yang mencakup materi dari berbagai pelajaran disiplin ilmu.
3.      Intregrated curriculum, kalau dalam unified masih tampak warna displin ilmunya, maka dalam pola yang integrated warna disiplin ilmu tersebut sudah tidak kelihatan lagi. Bahan ajar diintegrasikan dalam suatu persoalan, kegiatan atau segi kehidupan tertentu.
4.      Problem Solving curriculum, adalah pola organisasi isi yang beriisi topic pemecahan masalah social yang dihadapi dalam kehidupan dengan menggunakan pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh dari berbagai mata pelajaran atau disiplin ilmu.
5.      Evaluasi
Kurikulum subjek akademik menggunakan bentuk evaluasi yang bervariasi disesuaikan dengan tujuan dan sifat mata pelajaran. Dalam bidang studi humaniora lebih banyak digunakan bentuk uraian (essay test) dari tes objektif. Karena bidang studi ini membutuhkan jawaban yang merefleksikan logika, koherensi, dan integrasi secara menyeluruh.

2.2.2                    Pendekatan Berorientasi pada Tujuan

Pendekatan yang berorientasi tujuan ini menempatkan rumusan atau penempatan tujuan yang hendak dicapai dalam posisi sentral, sebab tujuan adalah pemberi arah dalam pelaksanaan proses belajar mengajar. Tujuan matematika misalnya, sama dengan konsep dasar dan disiplin ilmu matematika. Prioritas pendekatan ini adalah penalaran pengetahuan
Kelebihan pendekatan pengembangan kurikulum yang berorientasi pada tujuan adalah:
a.       Tujuan yang ingin dicapai jelas bagi penyusun kurikulum
b.      Tujuan yang jelas akan memberikan arah yang jelas pula di dalam menetapkan materi pelajaran, metode, jenis kegiatan, dan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan
c.       Tujuan-tujuan yang jelas itu juga akan memberikan arah dalam mengadakan penilaian terhadap hasil yang dicapai
d.      Hasil penelitian yang terarah itu akan membantu penyusun kurikulum di dalam mengadakan perbaikan-perbaikan yang diperlukan

2.2.3                    Pendekatan dengan Pola Organisasi Bahan

Pendekatan ini dapat dilihat dari pola pendekatan: subject matter curriculum, correlated curriculum, dan  integrated curriculum.
a.       Pendekatan pola subject matter curriculum
Penekanannya pada berbagai mata pelajaran secara terpisah-pisah, misalnya: sejarah, ilmu bumi, biologi, berhitung, dan sebagainya. Mata pelajaran ini tidak berhubungan satu sama lain.
b.      Pendekatan pola correlated curriculum
Pendekatan ini adalah pendekatan dengan pola mengelompokkan beberapa mata pelajaran (bahan) yang sering dan bisa secara dekat berhubungan. Misalnya, bidang studi IPA, IPS, dan sebagainya.
c.       Pendekatan pola integrated curriculum
Pendekatan ini didasarkan pada keseluruhan hal yang mempunyai arti tertentu. Keseluruhan itu tidak hanya merupakan kumpulan dari bagian-bagiannya, tetapi mempunyai arti tertentu. Dalam hal ini, tidak hanya melalui mata pelajaran yang terpisah-pisah, namun harus dijalin suatu keutuhan yang meniadakan batas tertentu dari masing-masing bahan pelajaran.

2.2.4                    Pendekatan Rekonstruksionalisme

Pendekatan ini disebut Rekonstuksi sosial. Kurikulum rekonstruksi sosial sangat memperhatikan hubungan kurikulum dengan sosial masyarakat dan politik perkembangan ekonomi. Banyak prinsip kelompok ini yang konsisten dengan cita-cita tertinggi, contohnya masalah hak asasi kaum minoritas, keyakinan dalam intelektual masyarakat umumnya, dan kemampuan menentukan nasib sendiri sesuai arahan yang mereka inginkan.
Pengajaran kurikulum rekonstruksi sosial banyak dilaksanakan di daerah-daerah yang tergolong belum maju dan tingkat ekonominya juga belum tinggi. Pelaksanaan pengajaran ini diarahkan untuk meningkatkan kondisi kehidupan mereka. Sesuai dengan potensi yang ada dalam masyarakat, sekolah mempelajari potensi-potensi tersebut, dengan bantuan biaya dari pemerintah sekolah berusaha mengembangkan potensi tersebut. Di daerah pertanian misalnya maka sekolah harus mengembangkan bidang pertanian, sementara kalau daerah industry maka yang harus dikembangkan oleh sekolah adalah bidang industri. Sehingga kurikulum tersebut dapat memenuhi kebutuhan masyarakatdaerah tersebut.
Kurikulum rekonstruksi sosial bertujuan untuk menghadapkan peserta didik pada berbagai permasalahan manusia dan kemanusian. Para pendukung kurikulum ini yakin, bahwa permasalahan yang muncul tidak harus diperhatikan oleh “pengetahuan sosial” saja, tetapi oleh setiap disiplin ilmu.
Kegiatan yang dilakukan dalam kurikulum rekonstruksi sosial antara lain melibatkan: (Hamalik, 2008, hal. 146)
1.      Survei kritis terhadap suatu masyarakat
2.      Studi yang melibatkan hubungan antara ekonomi lokal dengan ekonomi nasional atau internasional
3.      Studi pengaruh sejarah dan kencenderungan situasi ekonomi lokal
4.      Uji coba kaitan praktik politik dengan perekonomian
5.      Berbagai pertimbangan perubahan politik, dan
6.      Pembatasan kebutuhan masyarakat pada umumnya.
Dari pemikiran diatas, maka penyusunan dan pengembangan kurikulum harus bertitik tolak dari problem yang dihadapi dalam masyarakat. Pendekatan kurikulum rekonstrksi sosial ini selain menekan pada isi pembelajaran, sekaligus juga menekankan pada proses pendidikan dari pengalaman belajar. Ini dikarenakan, pendekatan rekonstruksi sosial berasumsi bahwa, manusia adalah makhluk sosial yang sepanjang kehidupannya membutuhkan orang lain, selalu bersama, berinteraksi dan bekerjasama.
Dari pendekatan kurikulum rekonstruksi sosial ini, nantinya diharapkan peserta didik mempunyai tanggung jawab dalam masyarakatnya guna membantu pemerintah dalam perbaikan-perbaikan dalam masyarakatnya yang lebih baik lagi kedepannya.
Adapun pendekatan kurikulum rekonstruksi sosial ini mempunyai ciri-ciri berkenaan dengan:
1.      Tujuan
Tujuan utama kurikulum rekonstruksi sosial adalah menghadapkan para peserta didik pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau gangguan-gangguan yang dihadapi manusia. Karena itu, tujuan program pendidikan setiap tahun berubah. Tantangan-tantangan tersebut merupakan bidang garapan selain bidang studi agama, juga perlu didekati dari bidang-bidang lain seperti ekonomi, sosiologi, ilmu pengetahuan alam, estetika, matematika dan lain-lain.
2.      Metode
Tugas guru dalam kegiatan pembelajaran dalam kurikulum rekonstruksi sosial, yaitu: berusaha mencari keselarasan antara tujuan-tujuan nasional dengan tujuan peserta didik. Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran guru harus dapat membantu para peserta didik untuk menemukan minat dan kebutuhannya.
3.      Organisasi Isi
Pola organisasi isi kurikulum rekonstruksi sosial disusun seperti roda. Ditengah-tengahnya sebagai poros dipilih sesuatu masalah yang menjadi tema utama dan dibahas secara pleno. Tema-tema tersebut dijabarkan ke dalam sejumlah topik yang dibahas dalam diskusi kelompok, latihan-latihan, kunjungan dan lain-lain. Topik-topik dengan berbagai kelompok ini merupakan jari-jari. Semua kegiatan jari-jari tersebut dirangkum menjadi satu kesatuan sebagai bingkai atau velk.
4.      Evaluasi
Dalam kegiatan evaluasi para peserta didik dilibatkan. Keterlibatan para peserta didik terutama dalam memilih, menyusun, dan menilai bahan yang akan diujikan. Soal-soal yang akan diujikan terlebih dahulu diuji untuk menilai ketepatan maupun keluasan isinya. Selain itu juga untuk menilai keampuhannya dalam menilai pencapaian tujuan-tujuan pembangunan kehidupan keberagaman masyarakat yang sifatnya kualitatif.

2.2.5                    Pendekatan Humanistik

Pada pendekatan humanistik berpusat pada siswa, jadi student centered, dan mengutamakan perkembangan afektif siswa sebagai prasyarat dan sebagai bagian integral dari proses belajar.
Para pendidik humanistik yakin, bahwa kesejahteraan mental dan emosional siswa harus dipandang sentral dalam kurikulum, agar belajar itu memberi hasil maksimal. Menurut Somantrie dalam Abdullah Idi (2007, hal. 203). bahwa pada pendekatan humanistik prioritasnya adalah pengalaman belajar yang diarahkan terhadap tanggapan minat, kebutuhan dan kemampuan anak.
Permasalahan yang perlu disadari adalah bahwa materi bukanlah tujuan. Dengan demikian, keberhasilan pendidikan tidak semata-mata diukur dengan lancarnya proses transmisi nilai-nilai (dalam hal ini materi pelajaran yang terformat dalam kurikulum), melainkan lebih dari sekadar hal itu. Pendidikan humanistik menganggap materi pendidikan lebih merupakan sarana, yakni sarana untuk membentuk pematangan humanisasi peserta didik, jasmani dan ruhani secara gradual.(Makin, 2007, hal. 192)
Jadi dari hal tersebut dapatlah kita pahami bahwa pada pendekatan humanistik tujuan dari pendidikan itu bukan hanya pada nilai-nilai yang dapat dicapai pesera didik tapi lebih kepada pembentukan perubahan pada peserta didik, baik secara jasmani maupun ruhani. Selanjutnya siswa hendaknya diturut sertakan dalam penyelenggaraan kelas dan keputusan instruksional. Dan siswa hendaknya turut serta dalam pembuatan, pelaksanaan, dan pengawasan peraturan sekolah. Siswa hendaknya diperbolehkan memilih kegiatan belajar, dan siswa boleh membuktikan hasil belajarnya melalui berbagai macam karya atau kegiatan.
Dalam kurikulum humanistik, guru diharapkan dapat membangun hubungan emosional yang baik dengan peserta didiknya, untuk perkembangan individu peserta didik itu selanjutnya. Oleh karena itu, peran guru yang diharapkan adalah sebagai berikut:(Hamalik, 2008, hal. 144)
1.  Mendengar pandangan realitas peserta didik secara komprehensif
2.  Menghormati individu peserta didik, dan
3.  Tampil alamiah, otentik, tidak dibuat-buat.
Tugas guru dalam kurikulum humanistik adalah menciptakan situasi yang permisif dan mendorong peserta didik untuk mencari dan mengembangkan pemecahan sendiri. Dan tujuan pengajaran adalah memperluas kesadaran diri sendiri dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan. Dari sini jelaslah bahwa pendekatan pengembangan kurikulum humanistik ini mengaharapkan perkembangan diri siswa sehingga dapat menemukan kepribadiannya yang hidup ditengah-tengah masyarakat.
Pendekatan pengembangan kurkulum ini mempunyai beberapa ciri-ciri, yakni:
1.      Tujuan
Tujuan pendidikannya adalah proses perkembangan pribadi yang dinamis yang diarahkan pada pertumbuhan, integritas, dan otonomi kepribadiaan, sikap yang sehat terhadap diri sendiri, orang lain, dan belajar. Semuanya itu merupakan bagian dan cita-cita perkembangan manusia yang teraktualisasi (self actualizing person). Seseorang yang telah mampu mengaktualisasikan diri adalah orang yang telah mencapai keseimbangan (harmoni) perkembangan seluruh aspek pribadinya baik aspek kognitif, estetika, maupun moral.
2.      Metode
Pengembangan kurikulum humanistik menuntut hubungan emosional yang baik antara guru dan siswa. Karenanya, menuntut kemampuan guru untuk memilih metode pembelajaran yang dapat menciptakan hubungan yang hangat antara guru dengan murid, antara murid dengan murid, dapat memberikan dorongan agar saling percaya. Dalam kegiatan pembelajaran guru tidak boleh memaksakan sesuatu yang tidak disenangi oleh peserta didik.
3.      Organisasi Isi
Kurikulum humanistik harus mampu memberikan pengalaman yang menyeluruh, bukan pengalaman yang terpenggal-penggal. Karenanya peran guru yang diharapkan adalah sebagai berikut:
1)      Mendengarkan pandangan realitas peserta didik secara komprehensif
2)      Menghormati individu peserta didik, dan
3)      Tampil alamiah, otentik, tidak dibuat-buat

4.      Evaluasi
Evaluasi kurikulum humanistik berbeda dengan evaluasi pada umumnya, yang lebih ditekankan pada hasil akhir atau produk. Sebaliknya, evaluasi kurikulum humanistik lebih menekankan pada proses yang dilakukan. Kurikulum ini melihat kegiatan sebagai sebuah manfaat untuk peserta didik masa depan. Kelas yang baik akan menyediakan berbagai pengalaman untuk mambantu peserta didik menyadari potensi mereka dan orang lain, serta dapat mengembangkannya.
Pada kurikulum ini, guru diharapkan mengetahui respon peserta didik terhadap kegiatan mengajar. Guru juga diharapkan mengamati apa yang sudah dilakukannya, untuk melihat umpan balik setelah kegiatan belajar dilakukan.

2.2.6                    Pendekatan Akuntabilitas (Accountability)

Accountability atau pertanggungjawaban lembaga pendidikan tentang pelaksanaan tugasnya kepada masyarakat, akhir-akhir ini tampil sebagai pengaruh yang penting dalam dunia pendidikan. Namun, menurut banyak pengamat pendidikan accountability ini telah mendesak pendidikan dalam arti yang sebenarnya menjadi latihan belaka.(Nasution, 2010, hal. 50)
Accountability yang sistimatis yang pertama kalinya diperkenalkan Frederick Taylor dalam bidang industri pada permulaan abad ini. Pendekatannya, yang kelak dikenal sebagai “scientific management” atau manajemen ilmiah, menetapkan tugas-tugas spesifik yang harus diselesaikan pekerja dalam waktu tertentu. Agar memenuhi tuntutan itu, para pengembang kurikulum terpaksa mengkhususkan tujuan pelajaran agar dapat mengukur prestasi belajar. Dalam banyak hal, gerakan ini menuju kepada ujian akademis yang ketat sebagai syarat memasuki universitas.

2.2.7                    Pendekatan Teknologis

Salah satu ciri gloalisasi adalah pesatnya arus informasi melalui berbagai alat teknologi seperti telepon, radio, televisi, teleconference sampai dengan satelit, dan internet. Kehadiran teknologi perlu di manfaatkan oleh dunia pendidikan dalam upaya pemerataan kesempatan, peningkatan mutu, relevansi dan efesiensi pendidikan.
Perspektif teknologi sebagai kurikulum ditekankan pada efektifitas program metode dan material untuk mencapai suatu manfaat dan keberhasilan. Teknologi memengaruhi kurikulum dalam dua cara, yaitu aplikasi dan teori. Aplikasi teknologi merupakan suatu rencana penggunaan beragam alat dan media, atau tahapan basis instruksi. Sebagai teori, teknologi digunakan dalam pengembangan dan evaluasi material kurikulum dan instruksional.(Hamalik, 2008, hal. 148)
Pandangan pertama menyatakan bahwa pemanfaatan teknologi lebih diarahkan pada bagaimana mengajarnya, bukan apa yang diajarkan. Sementara pandangan kedua menyatakan bahwa teknologi diarahkan pada penerapan tahapan instruksional.
Penerapan teknologi dalam bidang pendidikan khususnya kurikulum adalah dalam dua bentuk, yaitu bentuk perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware). Penerapan teknologi perangkat keras dalam pendidikan dikenal sebagai teknologi alat (tools technology), sedangkan penerapan teknologi perangkat lunak disebut juga teknologi sistem (system technology).
Teknologi pendidikan dalam arti teknologi alat, lebih menekankan kepada penggunaan alat-alat teknologi untuk menunjang efisiensi dan efektifitas pendidikan. Kurikulumnya berisikan rencana-rencana penggunaan berbagai alat dan media, juga model-model pengajaran yang banyak melibatkan penggunaan alat. Contoh-contoh model pengajaran tersebut adalah: pengajaran dengan bantuan film dan video, pengajaran berprogram, mesin pengajaran, pengajaran modul. Pengajaran dengan bantuan komputer, dan lain-lain.
Kurikulum yang dikembangkan dari konsep teknologi pendidikan memiliki beberapa ciri khusus, yaitu:(Sukamdinata, 2004, hal. 97-98)
1.      Tujuan
Tujuan diarahkan pada penguasaan kompetensi, yang dirumuskan dalam bentuk perilaku. Tujuan-tujuan yang bersifat umum yaitu kompetensi dirinci menjadi tujuan-tujuan khusus, yang disebut objektif atau tujuan instruksional. Objektif ini menggambarkan perilaku, perbuatan atau kecakapan-ketrampilan yang dapat diamati.
2.      Metode
Metode merupakan kegiatan pembelajaran sering dipandang sebagai proses mereaksi terhadap perangsang-perangsang yang diberikan dan apabila terjadi respons yang diharapkan maka respons tersebut diperkuat.
3.      Organisasi bahan ajar
Bahan ajar dan isi kurikulum banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa sehingga mendukung penguasaan sesuatu kompetensi. Bahan ajar atau kompetensi yang luas/besar dirinci menjadi bagian-bagian atau subkompetensi yang lebih kecil, yang menggambarkan objektif. Urutan dari objektif-objektif ini pada dasarnya menjadi inti organisasi bahan.
4.      Evaluasi
Kegiatan evaluasi dilakukan pada setiap saat, pada akhir suatu pelajaran, suatu unit atau semester. Fungsi evaluasi ini bermacam-macam, sebagai umpan balik bagi siswa dalam penyempurnaan penguasaan suatu satuan pelajaran (evaluasi formatif), umpan balik bagi siswa pada akhir suatu program atau semester (evaluasi sumatif). Juga dapat menjadi umpan balik bagi guru dan pengembang kurikulum untuk penyempurnaan kurikulum. Tes evaluasi yang biasa dilakukan adalah tes objektif.

2.2.8                    Pendekatan Pembangunan Nasional (National Development Approach)

Pendekatan ini mengandung tiga unsur :(Nasution, 2010, hal. 43)
1.      Pendidikan kewarganegaraan
Dalam masyarakat demokratis, warganegara dapat dimasukkan dalam tiga kategori:
1)  Warganegara yang apatis
2)  Warganegara yang pasif
3)  Warganegara yang aktif
2.      Pendidikan sebagai alat pembangunan nasional
Tujuan pendidikan ini adalah mempersiapkan tenaga kerja yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Para pengembang kurikulum bertugas untuk mendisain program yang sesuai dengan analisis jabatan yang akan diduduki.
3.      Pendidikan keterampilan praktis bagi kehidupan sehari-hari
Keterampilan yang diperlukan bagi kehidupan sehari- hari dapat dibagi dalam beberapa kategori yang tidak hanya bercorak keterampilan akan tetapi juga mengandung aspek pengetahuan dan sikap, yaitu:
1.      Keterampilan untuk mencari nafkah dalam rangka sistim ekonomi suatu negara.
2.      Keterampilan untuk mengembangkan masyarakat.
3.      Keterampilan untuk menyumbang kepada kesejahteraan umum.
4.      Keterampilan sebagai warganegara yang baik
Dari beberapa pendekatan pengembangan kurikulum ini, maka penyusunan kurikulum harus dapat melihat kepada ilmu pengetahuan itu sendiri yang dapat dikaitkan dengan kepentingan peserta didik sebagai manusia/individu, dan kurikulum juga harus dapat menyesuaikan dengan perkembangan teknologi sekarang ini, serta yang tidak kala pentingnya adalah kurikulum dibuat dengan memperhatikan kepentingan masyarakat tiap-tiap daerah.

2.3  Orientasi Pengembangan Kurikulum

Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dua tahun sebelum pendidikan di Indonesia di katakan telah belajar walaupun masih apa adanya. Pendidikan tidak akan terlepas dari proses pembelajaran yang dilalui dalam setiap jenjang pendidikan, atau yang biasa disebut dengan Kurikulum Pendidikan. Begitu pun pada awal berdiri pendidikan di Indonesia kurikulum masih belum rapih. Dari waktu kewaktu kurikulum di Indonesia selalu berusaha untuk disempurnakan, untuk mengarah pada penyempurnaan kurikulum. Orientasi setiap kurikulum yang berlaku dalam pendidikan di Indonesia berbeda-beda, yang tidak terlepas dari konsep perancang awal kurikulum

2.3.1                    Perjalanan Kurikulum di Indonesia

Indonesia sejak merdeka sangat memperhatikan system pendidikan yang ada, begitupun dengan kurikulum yang digunakan. Dibawah ini akan dibahas mengenai perjalanan kurikulum di Indonesia.
1)      Rencana Pembelajaran Tahun 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah  leer plan. Dalam bahasa belanda yang artinya rencana pelajaran. Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersidat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan ini ditetapkan Pancasila. Rencana Pelajar 1947 baru dilaksanakan sekolah pada 1950. Memuat pada dua hal pokok: Daftar mata pelajaran dan Jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.

2)      Rencana Pembelajaran Terurai Tahun 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali, Seorang guru mengajar satu mata pelajaran.” Menurut Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: Moral, Kecerdasan, Emosional/Artistik, Keprigelan (keterampilan), dan Jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.

3)      Rencana Pendidikan Tahun 1964
Awalnya pada tahun 1947, kurikulum saat itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang,. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda.Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan, diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini yaitu bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Setelah tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana, yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan dan jasmani.

4)      Kurikulum 1968
Kelahiran kurikulum ini bernuansa politik, mengganti produk orde lama menjadi produk orde baru. Tujuan kurikulum ini adalah pada pembentukan manusia pancasila sejati. Kurikulum 1968 ini menekankan pendekatan organisaasi materi pelajaran, kelompok pembinaan pancasila, pengetahuan dasar dan pengetahuan khusus. Jumlah materi yang diajukan adalah 9 buah. Kurikulum ini disebut kurikulum bulat. Kurikulum yang hanya memuat mata pelajaran pokok saja. Muatan pelajarannya bersifat teoritis, tidak mengaitkan materi pelajaran dengan permasalahan factual dilapangan. Titik tekan terberat hanya pada materi apa yang tepat yang harus diberikan kepada siswa disetiap jenjang yang harus dilalui.

5)      Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968, menekankan pada tujuan agar pendidikan lebih efektif dan efisien. Yang melatar belakangi berdirinya kurikulum ini adalah pengaruh konsep managemen, yaitu managemen obyektifitas. Metode, materi dan tujuan pengajaran dirinci dalam prosedur Pengembangan Prosedur Sistem Intruksional(PPSI). Pada kurikulum ini dikenal dengan istilah satuan pengajaran, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi, yaitu : Petunjuk umum, Tujuan Intruksional Khusus (TIK), Materi pelajaran, Alat pelajaran, Kegiatan belajar-mengajar dan Evaluasi.

6)       Kurikulum 1984
Menjelang tahun 1983 antara kebutuhan atau tuntutan masyarakat dan ilmu pengetahuan/teknologi terhadap pendidikan dalam kurikulum 1975 dianggap tidak sesuai lagi. Oleh karena itu diperlukan perubahan kurikulum. Kurikulum 1984 tampil sebagai perbaikan atau revisi terhadap kurikulum 1975. Secara umum dasar perbuhan kurikulum 1975 ke kurikulum 1984 di antaranya sebagai berikut:
a.       Terdapat beberapa unsur dalam GBHN 1983 yang belum tertampung ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah.
b.      Terdapat ketidak serasian antara materi kurikulum berbagai bidang studi dengan kemampuan anak didik.
c.       Terdapat kesenjangan antara program kurikulum dan pelaksanaannya di sekolah.
d.      Terlalu padatnya isi kurikulum yang harus diajarkan di setiap jenjang.
e.       Pengadaan program studi baru (seperti di SMA) untuk memenuhi kebutuhan perkembangan lapangan kerja.
Cara belajar siswa aktif (CBSA) merupakan salah satu cara pendekatan belajar-mengajar yang menuntut keaktifan dan partisipasi aktif baik fisik, intelektual dan emosional peserta didik seoptimal mungkin dapat mengubah perilakunya secara lebih efektif dan efisien. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilny di sekolah-ssekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Dengan adanya praktik semacam itu, mengakibatkan banyaknya penolakan yang bermunculan.
7)       Kurikulum 1994 dan suplemen kurikulum 1999
Pada kurikulum sebelumnya, yaitu kurikulum 1984, proses pembelajaran menekankan pada pola pengajaran yang berorientasi pada teori belajar mengajar dengan kurang memperhatikan muatan (isi) pelajaran. Hal ini terjadi karena berkesesuaian suasana pendidikan di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) pun lebih mengutamakan teori tentang proses belajar mengajar. Akibatnya, pada saat itu dibentuklahTim Basic Science yang salah satu tugasnya ikut mengembangkan kurikulum di sekolah. Tim ini memandang bahwa materi (isi) pelajaran harus diberikan cukup banyak kepada siswa, sehingga siswa selesai mengikuti pelajaran pada periode tertentu akan mendapatkan materi pelajaran yang cukup banyak.
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak.

8)      Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
Implementasi pendidikan di sekolah mengacu pada seperangkat kurikulum. Salah satu bentuk inovasi yang dikembangkan pemerintah guna meningkatkan mutu pendidikan adalah melakukan inovasi di bidang kurikulum. Kurikulum 1994 disempurnakan lagi sebagian respon terhadap perubahan struktural dalam pemerintahan dari sentralistik menjadi disentralistik sebagai konsekuensi logis dilaksanakannya UU No. 22 dan 25 tentang otonomi daerah. Pada era ini kurikulum yang dikembangkan diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). KBK adalah seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan su,ber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah (Depdiknas, 2002).
Kurikulum ini menitik beratkan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompentensi) tugas-tugas dengan standar performasi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap serangkat kompetensi tertentu.

9)      Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
Kurikulum ini dikatakan sebagai perbaikan dari KBK yang diberi nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP ini merupakan bentuk implementasi dari UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan.
Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu:
a.       Standar isi
b.      Standar proses
c.       Standar kompetensi lulusan
d.      Standar pendidik dan tenaga kependidikan
e.       Standar sarana dan prasarana
f.       Standar pengelolaan, standar pembiayaan
g.      Standar penilaian pendidikan

Secara substansial, pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter), yaitu:
a.         Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
b.         Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
c.         Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
d.        Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.

10)  Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 atau Pendidikan Berbasis Karakter adalah kurikulum baru yang dicetuskan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk menggantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum 2013 merupakan sebuah kurikulum yang mengutamakan pemahaman, skill, dan pendidikan berkarakter, siswa dituntut untuk paham atas materi, aktif dalam berdiskusi dan presentasi serta memiliki sopan santun disiplin yang tinggi.
Kurikulum ini menggantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang diterapkan sejak 2006 lalu. Dalam Kurikulum 2013 mata pelajaran wajib diikuti oleh seluruh peserta didik di satu satuan pendidikan pada setiap satuan atau jenjang pendidikan. Mata pelajaran pilihan yang diikuti oleh peserta didik dipilih sesuai dengan pilihan mereka.Kedua kelompok mata pelajaran tersebut (wajib dan pilihan) terutama dikembangkan dalam struktur kurikulum pendidikan menengah (SMA dan SMK) sementara itu mengingat usia dan perkembangan psikologis peserta didik usia 7 – 15 tahun maka mata pelajaran pilihan belum diberikan untuk peserta didik SD dan SMP.

2.3.2                    Orientasi Pengembangan Kurikulum di Indonesia

Dalam usaha mengefektifkan implementasi kurikulum pendidikan harus memperhatikan prinsip dasar salah satunya yaitu, prinsip orientasi pada tujuan. Artinya agar seluruh kurikulum terarah, perlu diarahkan pada tujuan pendidikan yang tersusun sebelumnya. Selain itu, perlu adanya persiapan khusus bagi penyelenggara pendidikan untuk menetapkan tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh peserta didik seiring dengan tugas manusia sebagai hamba dan khalifah Allah (Muhaimin, 1993: 193-194).
Perubahan kurikulum dari masa ke masa ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a.     Lebih menitik beratkan pencapaian target kompetensi (attainment targets) daripada penguasaan.
b.    Lebih mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia.
c.    Memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pelaksanaan pendidikan di lapangan untuk mengembangkan dan melaksanakan program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan.
Orientasi Pengembangan kurikulum menurut Seller menyangkut enam aspek, yaitu:
1.      Tujuan pendidikan menyangkut arah kegiatan pendidikan. Artinya , hendak dibawa ke mana siswa yang kita didik itu.
2.      Pandangan tentang anak. Apakah anan dianggap sebagai organisme yang aktif atau pasif.
3.      Pandangan tentang proses pembelajaran. Apakah proses pembelajaran itu dianggap sebagai proses transformasi ilmu pengetahuan atau mengubah prilaku.
4.      Pandangan tentang lingkungan. Apakah lingkungan belajar harus dikelola secara formal, atau secara bebas yang dapat memungkinkan anak bebas belajar.
5.      Konsepsi tentang peran guru . Apakah guru harus berperan sebagai instruktur yang bersifat otoriter, atau guru dianggap sebagai fasilitator yang siap memberi bimbingan dan bantuan pada anak untuk belajar.
6.      Evaluasi belajar. Apakah mengukur keberhasilan ditentukan dengan tes atau nontes.
Orientasi pengembangan kurikulum diartikan sebagai sebuah arah atau pendekatan yang memiliki penekanan tertentu pada suatu hal dalam mengembangkan kurikulum baik bagi para pengembang kurikulum maupun para pelaksana di sekolah. Pengenalan atau orientasi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1)        Orientasi pada bahan pengajaran
            Orientasi pada bahan pelajaran yakni masalah bahan pelajaran sangat di tekankan dan dijadikan pangkal kerja. Secara umum dapat dikatakan bahwa pendekatan ini mengajarkan materi pelajaran dahulu dan setelah itu menjabarkannya ke dalam pokok-pokok dan sub-sub pokok bahasan yang nantinya akan diajarkan kepada siswa.
            Pertimbangan-pertimbangan dalam menentukan bahan-bahan pelajaran didasarkan pada:
a.    Penting atau tidaknya bahan pelajaran tersebut untuk diajarkan di sekolah tertentu.
b.    Manfaat dari bahan tersebut.
c.    Kerelevansianya dengan kebutuhan anak setelah nantinya terjun ke masyarakat.
Pengembangan kurikulum yang berorientasi pada bahan pelajaran yang dipentingkan adalah apa materi atau bahan yang disajikan, bukan pada apa tujuannya, sebab tujuan dapat ditentukan setelah jelas bahan pelajaranya.
Kelebihannya:
Adanya kebebasan dan keluwesan dalam memilih dan menentukan bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkan sebab tidak ada tujuan-tujuan yang membuatnya terikat.
Kelemahannya:
Bahan pelajaran yang disusun kurang jelas arah dan tujuannya. Kurang adanya pegangan yang pasti untuk menentukan cara atau metode yang cocok untuk dipakai menyajikan materi tersebut. Kurang jelas segi apa yang harus dinilai pada murid setelah berakhirnya kegiatan dan bagaimana cara menilainya.
2)        Orientasi pada tujuan
Pendekatan yang berorientasi pada tujuan ini, menempati rumusan atau penetapan tujuan yang hendak dicapai dalam posisi sentral, sebab tujuan adalah pemberi arah dalam pelaksanaan proses belajar mengajar. Seperti tertera pada Hirarki Tujuan Pendidikan Indonesia terdiri atas:
a.         Tujuan Nasional-Tujuan Pendidikan Nasional.
b.        Tujuan Institusional-Tujuan Kurikuler.
c.         Tujuan Instruksional, yang terbagi lagi menjadi Tujuan Instruksional umum, dan Tujuan Instruksional Khusus.
Masing-masing tujuan yang ada di bawahnya terkait secara langsung dengan tujuan yang ada di atasnya. Penyusunan kurikulum dengan orientasi berdasarkan tujuan, artinya bahwa tujuan pendidikan dicantumkan terlebih dahulu. Tujuan pendidikan di Indonesia tertera pada GBHN. Atas dasar tujuan-tujuan yang telah ada, selanjutnya ditetapkan pokok-pokok bahan pelajaran dan kegiatan belajar mengajar, yang kesemuanya itu diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Pengembangan kurikulum yang menganut pendekatan berorientasi pada tujuan ini mendasarkan diri pada tujuan-tujuan pendidikan yang telah dirumuskan secara jelas dari tujuan nasional sampai tujuan instruksional. Dalam hal ini kegiatan pertama adalah merumuskan tujuan-tujuan pendidikan yang akan dilaksanakan dan dicapai melalui kegiatan belajar mengajar mengajar.
Dalam pengembangan semacam ini yang menjadi persoalan adalah menentukan tujuan-tujuan atau harapan apa yang diinginkan dari tercapainya hasil pembelajaran tersebut. Pengembangan kurikulum yang semacam ini di Indonesia adalah kurikulum 1975. Berdasarkan tujuan yang dirumuskan tersebut maka disusun atau diterapkanlah bahan pelajaran yang meliputi pokok-pokok dan sub-sub pokok bahasan sehingga lebih terarah.
Kelebihannya:
a.         Tujuan yang ingin dicapai sudah jelas dan tegas, sehingga bahan, metode, jenis-jenis kegiatan juga jelas dalam menetapkannya. Karena telah ada tujuan-tujuan yang jelas maka memudahkan penilaian- penilaian untuk mengukur hasil kegiatan.
b.        Hasil penilaian yang terarah akan mampu membantu para pengembang kurikulum mengadakan perbaikan - perbaikan / perubahan - perubahan penyesuaian yang diperlukan.
Kekurangannya:
a.         Sulit
b.         Merumuskan, apalagi jika merumuskan secara operasional setiap kali melaksanakan kegiatan belajar mengajar.
3)        Orientasi pada keterampilan proses
Dalam pendekatan ini yang lebih di tekankan adalah masalah kegiatan proses belajar mengajar apa yang harus dilakukan siswa dan bagaimana cara melakukan proses harus di pikirkan dan dikembangkan. Keterampilan proses adalah pendekatan belajar mengajar yang memberi tekanan kepada proses pembentukkan keterampilan memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan perolehannya. Pendekatan keterampilan proses diupayakan dilakukan secara efektif dan efesien dalam mencapai tujuan pelajaran. Titik berat yakni memikirkan, merencanakan, dan melaksanakan bagaimana, cara dan langkah-langkah agar siswa menguasai keterampilan serta memahami ilmu pengetahuan.
Pengembangan kurikulum di Indonesia yang menganut orientasi tersebut adalah kurikulum 1984. Pendekatan ini menurut keaktifan keduanya, baik guru maupun siswa. guru secara aktif merencanakan, memilih, menentukan, membimbing, menyerahi kegiatan, sedang siswa harus terlibat baik secara fisik, mental, maupun emosional, serta mereka harus menemukan sendiri, mengelola, mempergunakan serta mengkomunikasikan segala hal yang di temukan dalam proses belajar.
Kelebihan:
a.              Pendekatan lebih mengutamakan siswa dapat menguasai keterampilan “bagaimana cara belajar” (how learn to learn) daripada hasilnya.
b.             Dapat mempergunakan dan mengembangkan sendiri keterampilan yang telah didapat. Jadi dengan pendekatan ini diharapkan siswa akan berlatih mencari, menemukan, dan mengembangkan sendiri masalah-masalah pengetahuan, dalam hal ini guru harus menciptakan suasana yang baik dan diperlukan kemampuan untuk bertanya, membuat siswa aktif menjawab pertanyaan siswa serta mengorganisasi kelas.

Kekurangan:
Mengorganisasi kelas, sebab dalam hal ini guru dituntut aktif secara dapat membuat siswa ikut aktif.

2.4  Komponen-komponen Pengembangan Kurikulum

Kurikulum sebagai suau rancangan dalam pendidikan memiliki posisi yang straegis, karena seluruh kegiatan pendidikan bermuara kepada kurikulum. Begitu pentingnya kurikulum sebagaimana sentra kegiatan pendidikan, maka didalam penyusunannya memerlukan landasan atau pondasi yang kuat, melalui penelitian dan pemikiran secara mendalam.
            Kurikulum sebagai suatu sistem memiliki komponen-komponen yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, yakni Tujuan, Materi, Strategi Pembelajaran, Organisasi kurikulum dan Evaluasi. Komponen-komponen ini baik secara sendiri maupun bersama-sama menjadi dasar utama dalam upaya pengembangan sistem pembelajaran.

2.4.1                    Tujuan

Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing. Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Seperti yang disampaikan oleh Hummel (Sadulloh, 1994) bahwa tujuan pendidikan secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:
  1. Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and ability so that they can manage their personal and collective life to the greatest possible extent.
  2. Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring them an equal basic education.
  3. Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generation but also guide education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide realization of common destiny.)
Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.
Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007 dikemukakan bahwa tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.
  1. Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
  2. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
  3. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Tujuan pendidikan institusional tersebut kemudian dijabarkan lagi ke dalam tujuan kurikuler, yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap mata pelajaran yang dikembangkan di setiap sekolah atau satuan pendidikan. Lebih jauh lagi, dengan mengutip dari beberapa ahli, (Sukmadinata, 1997) memberikan gambaran spesifikasi dari tujuan yang ingin dicapai pada tujuan pembelajaran, yakni :
  1. Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh peserta didik, dengan : (a) menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan perilaku yang dapat diamati; (b) menunjukkan stimulus yang membangkitkan perilaku peserta didik; dan (c) memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat digunakan peserta didik dan orang-orang yang dapat diajak bekerja sama.
  2. Menunjukkan perilaku yang diharapkan dilakukan oleh peserta didik, dalam bentuk: (a) ketepatan atau ketelitian respons; (b) kecepatan, panjangnya dan frekuensi respons.
  3. Menggambarkan kondisi-kondisi atau lingkungan yang menunjang perilaku peserta didik berupa : (a) kondisi atau lingkungan fisik; dan (b) kondisi atau lingkungan psikologis.
Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti yang sangat penting. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran pada tingkat operasional ini akan menentukan terhadap keberhasilan tujuan pendidikan pada tingkat berikutnya.
Terlepas dari rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan kurikulum sangat terkait erat dengan filsafat yang melandasinya. Jika kurikulum yang dikembangkan menggunakan dasar filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) sebagai pijakan utamanya maka tujuan kurikulum lebih banyak diarahkan pada pencapaian penguasaan materi dan cenderung menekankan pada upaya pengembangan aspek intelektual atau aspek kognitif.
Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan filsafat progresivisme sebagai pijakan utamanya, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada proses pengembangan dan aktualisasi diri peserta didik dan lebih berorientasi pada upaya pengembangan aspek afektif. Pengembangan kurikulum dengan menggunakan filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar utamanya, maka tujuan pendidikan banyak diarahkan pada upaya pemecahan masalah sosial yang krusial dan kemampuan bekerja sama. Sementara kurikulum yang dikembangkan dengan menggunakan dasar filosofi teknologi pendidikan dan teori pendidikan teknologis, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada pencapaian kompetensi.
Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan dengan tantangan yang sangat kompleks boleh dikatakan hampir tidak mungkin untuk merumuskan tujuan-tujuan kurikulum dengan hanya berpegang pada satu filsafat, teori pendidikan atau model kurikulum tertentu secara konsisten dan konsekuen. Oleh karena itu untuk mengakomodir tantangan dan kebutuhan pendidikan yang sangat kompleks sering digunakan model eklektik, dengan mengambil hal-hal yang terbaik dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang ada, sehingga dalam menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan secara berkesinambungan.

2.4.2                    Materi Pembelajaran

Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan sistematis, dalam bentuk:
  1. Teori; seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan – hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
  2. Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan, merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
  3. Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
  4. Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.
  5. Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan peserta didik.
  6. Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
  7. Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.
  8. Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau pendapat.
  9. Definisi:yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis besarnya.
  10. Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.
Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat progresivisme lebih memperhatikan tentang kebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik. Oleh karena itu, materi pembelajaran harus diambil dari dunia peserta didik dan oleh peserta didik itu sendiri. Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat konstruktivisme, materi pembelajaran dikemas sedemikian rupa dalam bentuk tema-tema dan topik-topik yang diangkat dari masalah-masalah sosial yang krusial, misalnya tentang ekonomi, sosial bahkan tentang alam. Materi pembelajaran yang berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa dan diambil hal-hal yang esensialnya saja untuk mendukung penguasaan suatu kompetensi. Materi pembelajaran atau kompetensi yang lebih luas dirinci menjadi bagian-bagian atau sub-sub kompetensi yang lebih kecil dan obyektif.
Dengan melihat pemaparan di atas, tampak bahwa dilihat dari filsafat yang melandasi pengembangam kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan materi pembelajaran,. Namun dalam implementasinya sangat sulit untuk menentukan materi pembelajaran yang beranjak hanya dari satu filsafat tertentu., maka dalam prakteknya cenderung digunakan secara eklektik dan fleksibel. Berkenaan dengan penentuan materi pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pendidik memiliki wewenang penuh untuk menentukan materi pembelajaran, sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Dalam prakteknya untuk menentukan materi pembelajaran perlu memperhatikan hal-hal berikut :.
  1. Sahih (valid); dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-benar telah teruji kebenaran dan kesahihannya. Di samping itu, juga materi yang diberikan merupakan materi yang aktual, tidak ketinggalan zaman, dan memberikan kontribusi untuk pemahaman ke depan.
  2. Tingkat kepentingan; materi yang dipilih benar-benar diperlukan peserta didik. Mengapa dan sejauh mana materi tersebut penting untuk dipelajari.
  3. Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis maupun non akademis. Manfaat akademis yaitu memberikan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan lebih lanjut. Sedangkan manfaat non akademis dapat mengembangkan kecakapan hidup dan sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
  4. Layak dipelajari; materi memungkinkan untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat kesulitannya (tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya terhadap pemanfaatan materi dan kondisi setempat.
  5. Menarik minat; materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotivasi peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa ingin tahu sehingga memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri kemampuan mereka.
Terlepas dari filsafat yang mendasari pengembangan materi, (Sukmadinata, 1997) mengetengahkan tentang sekuens susunan materi pembelajaran, yaitu :
  1. Sekuens kronologis; susunan materi pembelajaran yang mengandung urutan waktu.
  2. Sekuens kausal; susunan materi pembelajaran yang mengandung hubungan sebab-akibat.
  3. Sekuens struktural; susunan materi pembelajaran yang mengandung struktur materi.
  4. Sekuens logis dan psikologis; sekuensi logis merupakan susunan materi pembelajaran dimulai dari bagian menuju pada keseluruhan, dari yang sederhana menuju kepada yang kompleks. Sedangkan sekuens psikologis sebaliknya dari keseluruhan menuju bagian-bagian, dan dari yang kompleks menuju yang sederhana. Menurut sekuens logis materi pembelajaran disusun dari nyata ke abstrak, dari benda ke teori, dari fungsi ke struktur, dari masalah bagaimana ke masalah mengapa.
  5. Sekuens spiral ; susunan materi pembelajaran yang dipusatkan pada topik atau bahan tertentu yang populer dan sederhana, kemudian dikembangkan, diperdalam dan diperluas dengan bahan yang lebih kompleks.
  6. Sekuens rangkaian ke belakang; dalam sekuens ini mengajar dimulai dengan langkah akhir dan mundur kebelakang. Contoh pemecahan masalah yang bersifat ilmiah, meliputi 5 langkah sebagai berikut : (a) pembatasan masalah; (b) penyusunan hipotesis; (c) pengumpulan data; (d) pengujian hipotesis; dan (e) interpretasi hasil tes.
  7. Dalam mengajarnya, guru memulai dengan langkah (a) sampai (d), dan peserta didik diminta untuk membuat interprestasi hasilnya (e). Pada kasempatan lain guru menyajikan data tentang masalah lain dari langkah (a) sampai (c) dan peserta didik diminta untuk mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya.
Sekuens berdasarkan hierarki belajar; prosedur pembelajaran dimulai menganalisis tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kemudian dicari suatu hierarki urutan materi pembelajaran untuk mencapai tujuan atau kompetensi tersebut. Hierarki tersebut menggambarkan urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai peserta didik, berturut-berturut sampai dengan perilaku terakhir.

2.4.3                    Strategi pembelajaran

Telah disampaikan di atas bahwa dilihat dari filsafat dan teori pendidikan yang melandasi pengembangan kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan tujuan dan materi pembelajaran, hal ini tentunya memiliki konsekuensi pula terhadap penentuan strategi pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan dalam pembelajaran adalah penguasaan informasi-intelektual, sebagaimana yang banyak dikembangkan oleh kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya ataupun keabadian, maka strategi pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru. Guru merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan dipandang sebagai pusat informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai obyek yang secara pasif menerima sejumlah informasi dari guru. Metode dan teknik pembelajaran yang digunakan pada umumnya bersifat penyajian (ekspositorik) secara massal, seperti ceramah atau seminar. Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi dari kalangan progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mendapat dukungan dari kalangan rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika kelompok.
Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari guru tetapi lebih bersifat individual, langsung, dan memanfaatkan proses dinamika kelompok (kooperatif), seperti : pembelajaran moduler, obeservasi, simulasi atau role playing, diskusi, dan sejenisnya.
Dalam hal ini, guru tidak banyak melakukan intervensi. Peran guru hanya sebagai fasilitator, motivator dan guider. Sebagai fasilitator, guru berusaha menciptakan dan menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didiknya. Sebagai motivator, guru berupaya untuk mendorong dan menstimulasi peserta didiknya agar dapat melakukan perbuatan belajar. Sedangkan sebagai guider, guru melakukan pembimbingan dengan berusaha mengenal para peserta didiknya secara personal.
Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis teknologi yang menekankan pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi tersendiri dalam penentuan strategi pembelajaran. Meski masih bersifat penguasaan materi atau kompetensi seperti dalam pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologis masih dimungkinkan bagi peserta didik untuk belajar secara individual. Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta didik untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru, seperti melalui internet atau media elektronik lainnya. Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih cenderung sebagai director of learning, yang berupaya mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan untuk menentukan strategi pembelajaran dan setiap strategi pembelajaran memiliki kelemahan dan keunggulannya tersendiri.Terkait dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, belakangan ini mulai muncul konsep pembelajaran dengan isitilah PAKEM, yang merupakan akronim dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Oleh karena itu, dalam prakteknya seorang guru seyogyanya dapat mengembangkan strategi pembelajaran secara variatif, menggunakan berbagai strategi yang memungkinkan siswa untuk dapat melaksanakan proses belajarnya secara aktif, kreatif dan menyenangkan, dengan efektivitas yang tinggi.

2.4.4                    Evaluasi Kurikulum

Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wright bahwa : “curriculum evaluation may be defined as the estimation of growth and progress of students toward objectives or values of the curriculum
Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi, kelaikan (feasibility) program. Sementara itu, Hilda Taba menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi ; “ objective, it’s scope, the quality of personnel in charger of it, the capacity of students, the relative importance of various subject, the degree to which objectives are implemented, the equipment and materials and so on.”
Pada bagian lain, dikatakan bahwa luas atau tidaknya suatu program evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuan diadakannya evaluasi kurikulum. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk mengevaluasi keseluruhan sistem kurikulum atau komponen-komponen tertentu saja dalam sistem kurikulum tersebut. Salah satu komponen kurikulum penting yang perlu dievaluasi adalah berkenaan dengan proses dan hasil belajar siswa.
Agar hasil evaluasi kurikulum tetap bermakna diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Dengan mengutip pemikian Doll, dikemukakan syarat-syarat evaluasi kurikulum yaitu “acknowledge presence of value and valuing, orientation to goals, comprehensiveness, continuity, diagnostics worth and validity and integration.”
Evaluasi kurikulum juga bervariasi, bergantung pada dimensi-dimensi yang menjadi fokus evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan adalah dimensi kuantitas dan kualitas. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi diemensi kuantitaif berbeda dengan dimensi kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif, seperti tes standar, tes prestasi belajar, tes diagnostik dan lain-lain. Sedangkan, instrumen untuk mengevaluasi dimensi kualitatif dapat digunakan, questionnare, inventori, interview, catatan anekdot dan sebagainya.
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik untuk penentuan kebijakan pendidikan pada umumnya maupun untuk pengambilan keputusan dalam kurikulum itu sendiri. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijakan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang digunakan. Hasil – hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya dalam memahami dan membantu perkembangan peserta didik, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya. (MKDK, 2002) mengemukakan tiga pendekatan dalam evaluasi kurikulum, yaitu : (1) pendekatan penelitian (analisis komparatif); (2) pendekatan obyektif; dan (3) pendekatan campuran multivariasi.
Di samping itu, terdapat beberapa model evaluasi kurikulum, (Depdiknas, 2003) diantaranya adalah Model CIPP (Context, Input, Process dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja (performance) dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Model ini kembangkan oleh Stufflebeam (1972) menggolongkan program pendidikan atas empat dimensi, yaitu : Context, Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat dimensi program tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program pendidikan dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi tersebut adalah, sebagai berikut :
  1. Context; yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
  2. Input; bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan, seperti : dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar, sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan dan sebagainya.
  3. Process; pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi : pelaksanaan proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh para pengajar, penglolaan program, dan lain-lain.
  4. Product; keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup : jangka pendek dan jangka lebih panjang.


BAB III
PENUTUP

3.1  Simpulan

Model merupakan abstraksi dari suatu kenyataan. Sedangkan pengembangan kurikulum merupakan suatu proses mengembangkan atau memperbaiki kurikulum guna menyesuaikan dengan zaman atau keadaan dan kondisi yang berlaku. Model pengembangan kurikulum adalah model yang digunakan untuk mengembangkan suatu kurikulum, dimana pengembangan kurikulum dibutuhkan untuk memperbaiki atau menyempurnakan kurikulum yang dibuat untuk dikembangkan sendiri baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah atau sekolah. Model pengembangan kurikulum ini digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi pihak sekolah yang akan mengembangkan kurikulum tersebut.
Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang seseorang terhadap suatu proses tertentu. Istilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum. Dengan demikian, pendekatan pengembangan kurikulum menunjuk pada titik tolak atau sudut pandang secara umum tentang proses pengembangan kurikulum. Pendekatan adalah cara kerja dengan menerapkan strategi dan metode yang tepat dengan mengikuti langkah-langkah pengembangan yang sistematis agar memperoleh kurikulum yang lebih baik. Pendekatan ini digunakan sebagai pelengkap dalam melakukan proses pengembangan kurilum. Pendekatan dapat juga dikatakan sebagai langkah praktis dari suatu model.
Orientasi pengembangan kurikulum diartikan sebagai sebuah arah atau pendekatan yang memiliki penekanan tertentu pada suatu hal dalam mengembangkan kurikulum baik bagi para pengembang kurikulum maupun para pelaksana di sekolah.Orientasi merupakan langkah pertama untuk melakukan pengembangan kurikulum. Karena tanpa orientasi sebuah kurikulum maka tidak akan terlaksana kegiatan pengembangan kurikulum.
Adapun isi atau komponen-komponen kurikulum yang sering dijadikan sebagai ruang lingkup pengembangan kurikulum yaitu 1) tujuan pembelajaran, 2) materi pembelajaran, 3) strategi pembelajaran, dan 4) organisasi kurikulum. Keempat komponen tersebut merupakan satu kesatuan dalam sebuah system yang apabila salah satu mengalami pengembangan komponen yang lain akan mengikuti.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa model, pendekatan, orientasi dan komponen kurikulum mempunyai keterkaitan satu sama lain. Modle merupakan langkah pertama yang harus diketahui untuk melakukan pengembangna kurikulum kemudian dituangkan dalam pendekatan yang merupakan langkah praktis atau langkah nyata, serta melakukan orientasi terhadap kurikulum serta mengenai komponen-komponen apa saja yang akan dilakukan pengembangan kurikulum tersebut.

3.2  Saran

Dalam pengembangan kurikulum yang akan dilakukan oleh sebuah lembaga atau sekolah harus mempertimbangkan dalam penetapan model dan pendekatan yang akan digunakan, karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap hasil analisis pengembangan kurikulum. Kemudian melakukan orientasi terhadap sasaran yang tepat dalam mengenali komponen-komponen kurikulum.

DAFTAR PUSTAKA

 

Abidin, Z. (2012). Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: Rajawali Press.
Beauchamp, B. A. (1975). Curriculum Theory. Wil Mette, Illinois: Kegg. Press.
Depdiknas. (2003). Standar Kompetensi Bahan Kajian; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
Hamalik, O. (2008). Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Idi, A. (2007). Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Johnson, M. (1977). Intentionality in Education. New York: Center for Curriculum Research and Service.
Makin, B. d. (2007). Pendidikan Humanistik: Konsep, Teori, dan Aplikasi Praktis dalam Dunia Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
MKDK, T. P. (2002). Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.
Nadler, L. (1988). Designing Training Programs: The Critical Event Model. Philippines: Addison Wesley Publishing Company.
Nasution, S. (2010). Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Oliva, P. F. (1992). Developing Curriculum. New York: Harper Collin Publisher.
Pembelajaran, T. P. (2002). Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan.
Sadulloh, U. (1994). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: PT. Media Iptek.
Seller, M. d. (1985). Curriculum Perspective and Practice. New York: Longman.
Sukamdinata, N. S. (2004). Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sukmadinata. (1997). Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sukmadinata, N. S. (1997). Teori dan Praktek Pengembangan Kurikum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Travers, R. R. (1990). Foundation of Education Becoming a Teacher Englewood Cliffs. New Jersey: Prentice Hall.
Tyler, R. W. (1975). Basic Principles of Curriculum and Instruction. Chicago: The University of Chicago Press.




1 comment:

CONTOH SURAT LAMARAN PEKERJAAN

  Bogor , 08 Desember 2020 Hal                   : Lamaran Pekerjaan Lampiran          : 1 Berkas   Kepada Yth. .....................